Prolog

762 37 2
                                    

Kadang kala seseorang dapat terkecoh dengan apa yang terlihat, terlalu banyak tipuan membuat jebakan yang amat besar. Semuanya didasari oleh logika dan kekuasaan untuk menjalankan bidaknya, jika salah pijak itulah akhir dari segalanya.

Aksara Austhin Aldebaran, seorang lelaki yang tampan nan rupawan. Dia memang masih masih SMA namun dia mempunyai beban berat yang dipikulnya, sedari dulu dia bergelut di dunia mafia dan menjadi penerus bagi ayahnya yang juga pemimpin terkuat di dunia mafia.


Drrt... Drrrt... Drrrt

Aksara melirik ponselnya yang tengah berdering, dengan malasnya Aksara berjalan menuju meja tempat ponselnya diletakkan, Aksa mengangkat panggilan masuk dari bawahannya.

"Apa?" tanya Aksara langsung to the point setelah mengangkat panggilan itu.

"M-maafkan kami tuan muda, itu...."

"Apaan sih?! ngomong itu yang jelas," tegas Aksara memotong ucapan pria yang diseberang sana, yang sedang menelpon aksara. Aneh, tidak biasanya pria itu terlihat gugup.

"Kami gagal melindungi Mr. Aldebaran, misi kami gagal dan Mr.Aldebaran meninggal."

"Ck.jangan becanda, becanda lo gak lucu tau!" Aksara berdecak kesal dengan lelucon yang dikatakan bawahannya.

"Maafkan kami tuan muda, tapi saya sedang tidak bercanda!" tegas pria yang diseberang sana, walaupun awalnya dia cukup gugup untuk menyampaikan berita ini, sungguh dia juga sangat terkejut atas berita besar ini.

"Maksud lo apa bajingan! gue gak suka lo bilang sesuatu seperti itu tentang papa gue!" Aksara sudah tidak bisa menahan lagi amarahnya, siapa yang tidak marah jika mendengar lelucon seperti ini tentang orang tuanya. Apalagi ini menyangkut papanya, yang terkenal hebat dan kuat, tidak mungkin papahnya meninggal dengan mudah karena setahu Aksara papanya punya banyak anak buah yang menjaganya.

"Sekali lagi saya minta maaf tuan muda, sekarang jenazah Mr. Aldebaran berada di markas besar."

"Gue bunuh lo, kalo lo bohongin gue," ucap Aksara dengan tajam dan penuh penekanan.

Tuut..

Tanpa basa basi lagi Aksara langsung keluar dari ruangan itu dengan terburu-buru, lihat saja jika bawahan sialannya itu mempermainkannya. Enyahlah dari dunia ini!

Aksara mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak bisa dipercaya, tidak mungkin jika papanya meninggal begitu mudah. Papanya tidak sebodoh itu, meskipun yang mengabarkan kematiannya itu adalah tangan kanan papanya sendiri.

Tidak lama sekitar 10 menit Aksara sudah tiba dimarkas mereka - tempat dia dan ayahnya melatih bawahannya. Gedungnya cukup besar dan mempunyai pertahanan tingkat tinggi apalagi didalamnya terdapat begitu banyak anggota mafia, bahkan lalat pun tidak bisa melewatinya.

Lantai satu begitu sepi tidak ada yang berkeliaran sama sekali, hanya sistem keamanan saja yang bekerja.Aksara semakin mempercepat langkahnya, tangan yang mengepal dan rahang tegasnya sudah terbentuk.


BRAK


Pintu terbuka secara kasar, siapa lagi pelakunya jika bukan Aksara.

Apa-apaan semua tatapan itu, kenapa mereka menatapnya lirih, terutama Mamanya kenapa menangis. Semuanya memancarkan kesedihan yang amat mendalam. Aksara menelan ludahnya sendiri, dia tidak sanggup jika berita itu benar.

"I-ini tidak benarkan?" suara serak Aksara menusuk relung hati mereka.

"Bi-bilang ke gue kalo ini cuma bohongan!!" Aksara menggeram kesal, ia memandang bawahannya lalu pandangannya beralih kepada Mamanya.

"Ma, ya-yang mereka bilang gak benarkan, Pa-Papa masih disinikan sama kita." sungguh mereka tidak tega melihat Aksara seperti ini, baru pertama kalinya bagi mereka melihat Aksara yang seperti ini, terutama mamanya, mamanya sangat kesal, sakit, sedih, sesak, semuanya tercampur aduk menjadi satu.

"Mah, bilang ke Aksa kalau semua ini cuma bohongan mah!! Please Ma, jangan main main." mata Aksara yang sudah memerah dan senyuman paksa Aksara membuat tangis Mamahnya pecah.

"Hiks... hiks, sa-sayang... In-ini-"



BUGH

Tidak Aksara tidak bisa mendengar hal itu lagi, dia memukul dinding dengan kuat berharap rasa sakit yang dihatinya hilang. Aksara masih syok dengan mendengar ini terutama melihat mamahnya yang seperti ini, dan juga papanya yang....

"Pa-papa mana, mana papa... MANA PAPA GUE!! KALIAN GAK BECUS JADI BAWAHAN!! KENAPA KALIAN ENGGAK NGELINDUNGIN PAPA GUE!!? KENAPA!?" Aksara mulai frustasi, gejolak emosinya meluap begitu saja tanpa ada yang bisa menghentikannya.

Mereka semua menunduk tidak ada satu orangpun yang berani jika sudah dihadapkan dengan Aksara yang sudah marah, hanya papanya lah yang bisa menghentikan amarahnya.

BUGH!

Aksara memukul kuat satu-satu bawahnya, mereka semua jatuh tersungkur dengan luka lebam di wajahnya. "Ini untuk kalian semua yang gak becus ngejaga Papa gue!" teriak Aksara kepada semua bawahannya yang sedang menunduk, tak berani menatap mata seorang Aksara yang sudah dilanda amarah.

"Sudah lah Sa, ini sudah jadi takdir Papah kamu," ucap Chandra Paman Aksara sambil menepuk pelan bahu Aksara untuk sekedar meredakan emosi Aksara yang sedang memuncak.

"Sekarang dimana papa gue!?" tanya Aksara yang masih diselimuti emosi.

"Mr. Aldebaran ada diruangannya tuan," ucap Salah satu anak buah Papahnya.

Aksara melangkah dengan tergesa-gesa, dia akan memastikannya sendiri.

BRAK

Lagi-lagi pintu terbuka kasar oleh Aksara, dan saat itu juga tubuhnya terbujur kaku, disana diatas ranjang papahnya sudah ada seseorang yang terbaring kaku dengan kain putih yang membukus tubuh papahnya.

Bruk

Aksara terjatuh, kakinya lemas tidak kuat lagi untuk menopang tubuhnya, seluruh tubuhnya terasa lemah. Dia masih tidak bisa mempercayai ini semua, rasanya tidak nyata.

"Hiks." lolos sudah isakan kecil dari Aksara, kenangan kenangan yang ia habiskan bersama papanya terbekas dihati dan pikirannya.

"hiks.. Ke-kenapa?, kenapa bisa seperti ini, hiks.. KENAPA!?"

"Cukup Aksa, jangan seperti itu! Kamu adalah satu-satunya penerus papahmu. Kuatkan hatimu Aksa!"  paman Aksara menepuk pundak Aksara dan membiarkan Aksara berada dipelukannya, dia tau hal ini pasti berat bagi keponakannya itu.

"ke-kenapa ini, bisa terjadi Paman," tanya Aksara setelah sedikit tenang tapi masih sedikit sedikit sedih dengan kenyataan yang terjadi.

"Papah kamu dibunuh , Aksa, papamu ditembak oleh seseorang saat menjalani misi, sayang sekali pelakunya berhasil lolos," balas Chandra.


Langit yang biasanya cerah, sekarang menjadi redup seperti keadaan sekarang. Semua anggota mafia dari seluruh penjuru datang untuk memberikan hormat kepada Papahnya untuk yang terakhir kalinya.

Perlahan peti mati Papahnya, mulai di masukan kedalam tanah. Ia mengelus pundak Mamahnya yang masih menangis atas kepergian Papahnya.

"Sudahlah Ma, jangan menangis lagi. Aksa gak tega melihat Mama begini," ucap Aksara kepada Mamanya, agar Mamanya berhenti menangisi Papanya.

"Aksara janji, akan membalaskan kematian papa," gumam Aksara sambil melihat gundukan tanah Papahnya yang masih basah.

EpiphanyWhere stories live. Discover now