7. Hurt

15.4K 1.2K 44
                                    

Terus tersenyum sampai semua orang menganggapmu baik baik saja, padahal nyatanya tidak:)

Dengan langkah yang gontai, cewek berambut lurus itu memasuki rumah. Hari ini begitu melelahkan bagi Vega, bukan karena apa, tapi Vega terus memikirkan perkataan Abim yang berhasil membuatnya tertegun seketika. Vega tidak berani mengatakan hal ini kepada Archer, karena sudah dipastikan nantinya lelaki itu bakal marah.

Vega tersenyum miris melihat seluruh keluarganya sedang bersenda gurau di ruang keluarga. Ia membayangkan apabila ada di antara mereka mungkin ia akan sangat senang.

"Pulang juga tuh anak," ucap Maura saat menyadari kepulangan adiknya.

Vega menatap takut-takut ke arah Maura, ia takut jika ancaman Maura di sekolah tadi akan menjadi kenyataan. Dan benar saja, mereka semua menatap Vega dengan sinis. Vega lantas menunduk karena takut.

Maura berjalan ke arah Vega, lalu membawa Vega menuju ke hadapan keluarganya.

"Ini Bun, anak gak tau diri. Udah disuruh jauhin Archer tapi malah makin nempel," kata Maura kesal. Maura menatap Vega dengan tatapan sinis yang biasa ia tunjukkan kepada adiknya itu.

"Benar begitu, Vega?" tanya Riska dingin.

Vega menghembuskan nafasnya, merasa sakit dengan pertanyaan bundanya itu. Ia tidak tahu lagi, rasanya ingin mati saja.

"Bun, aku cuma punya Archer, dia yang selalu ada buat aku saat kalian semua nyudutin aku." entah mendapat kekuatan dari mana, Vega berani menjawab bundanya itu. Mata Vega berkaca kaca, ia tidak percaya mulutnya ini akan membuat singa yang tidur menjadi bangun.

Riska berdiri dan menjambak rambut Vega dengan keras hingga membuat gadis itu meringis kesakitan.

"Sakit, Bun," lirih Vega diiringi isakan kecilnya.

"Kamu, sudah berani jawab saya!" bentak Riska.

Reno hanya menatap keduanya dengan tatapan datar, berbeda dengan kakek nenek Vega yang menatap gadis itu dengan senyuman sinis.

"Bunda kenapa sih?" tanya Vega dengan bergetar.

"Saya benci sama kamu!"

Air mata yang sedari tadi ditahannya jatuh begitu saja. Rasanya sakit bahkan sangat, Vega tahu ia tidak diharapkan akan kehadiran di dalam keluarganya ini. Harusnya ia mati saja dan segera menepis angan angan untuk bisa bahagia di dalam keluarganya.

Vega berlari ke kamarnya, cewek itu mengunci pintu kamarnya. Ia lalu berjalan ke arah kamar mandi sambil membawa silet yang menemani hari hari buruknya.
Vega menyalakan shower dan mengguyur tubuhnya, ia tidak peduli dengan seragamnya yang mungkin akan terkena darah.

Vega mulai menyilet lengannya. Sakit, perih dan rasa nyaman bercampur menjadi satu dalam rasa yang teramat dalam. Vega memejamkan matanya, menikmati setiap sensasi perih di lengannya. Ia mengabaikan gedoran pintu dari luar, karena sepertinya Bi Inah mengantarkannya makan siang.

Setelah dirasa puas, Vega akhirnya keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang sangat kacau. Vega melihat Bi Inah dengan sendu, ia membayangkan jika Bi Inah adalah ibu kandungnya. Karena jujur, semenjak Vega lahir yang merawat serta memberinya asi adalah Bi Inah. Kadang ia bingung, sebenarnya dia ini anak siapa?

"Non Vega," panggil Bi Inah dengan lembut.

Vega refleks menghamburkan pelukannya kepada wanita paruh baya itu. Vega menangis sejadi jadinya di dalam dekapan Bi Inah.
Bi Inah yang tidak tega turut menjatuhkan air matanya, Bi Inah tahu apa yang membuat Vega tidak diperlakukan secara adil oleh keluarga kandungnya sendiri.

I'M LONELY (REVISI) Where stories live. Discover now