18. Dream

699 87 36
                                    

Teriakan rinduku lebih lantang ke arah langit, bukannya ke bumi. Tak heran jika kau tak pernah mengetahui.

-Someone with Her Words-

Hari Jum’at yang tenang untuk anak kelas tiga seperti Arseno. Tidak ada ulangan, PR, atau pun sesuatu yang memberatkan kepala. Di tambah dengan fakta bahwa besok sudah libur membuat Arseno merasa jauh lebih baik setelah seminggu ini berperang dengan berbagai persoalan.

Tapi masalahnya ...

“Bener lo pinter? Kalo gitu gue kasih pertanyaan dan lo harus jawab. Ibu kota Mexico apa?” tantang Sam saat tak sengaja berpapasan dengan Hanji dan Arseno yang melangkah beriringan di koridor.

“Alah so easy mah, Mexico city kan?” jawab Hanji dengan penuh percaya diri hingga Sam berdecak kagum di buatnya.

“Woo!” Sam bertepuk tangan bangga. “Kalo Colombia?”

Hanji mulai ragu. “Colombia city?”

“Kalo Italia?”

“Samtalia?” jawab Hanji tak yakin.

“Ngawur! Ibu kota Italia ya Roma!“ Sam berdecak. “Jadi dari tadi lo ngasal aja jawabnya ya!” Sam menggeplak kepala Hanji kesal. Dia kira Hanji benar-benar tahu jawabannya, tak di sangka justru malah asjab saja, alias, asal jawab. Kedua lelaki itu tertawa dengan obrolan tak jelas siang itu. Beda dengan Arseno yang justru bersungut-sungut kesal dengan wajah tertekuk saat tak mendapati notif dari Tari di ponselnya.

Mau menghubungi duluan Arseno terlalu sayang pada harga diri. Tidak di hubungi malah Arseno yang ketar-ketir sendiri. Tari seperti tidak ada tanda-tanda mau memberikannya kabar. Padahal Arseno kan penasaran, apakah kondisi Tari membaik? Akankah gadis itu kembali ke sekolah Senin depan? Arseno juga mau memberi tahu kalau Bu Ayu mengundang Tari untuk ikut dengannya ke Mandiri Jaya, mengisi formulir pendaftaran FL2SN sebagai perwakilan dari Cahaya Biru.

Tunggu, kenapa juga Tari harus mengabarinya?

“Woi Kusen Pintu!” panggil Hanji yang kesekian kalinya. Arseno mengerjap, baru sadar akan dunia sekitarnya setelah berperang dengan pemikiran sendiri.

“Apa?” Arseno mengemas ponsel ke dalam saku celana. Menenteng tali tas di bahu kanan. Hanji menunjuk seseorang dengan ujung dagu, presensi Veril ternyata tengah menunggunya di dekat gerbang sekolah.

“Samperin sana, kayaknya ada yang mau di omongin,” ujar Sam setelah mengamati gerak-gerik Veril. Benar saja, saat Arseno dan teman-temannya kian mendekat, Veril dengan sigap berdiri menanti Arseno sampai di dekatnya.

“Kami duluan,” pamit Hanji sesampainya di gerbang. Veril memandang Arseno lurus, sedangkan yang menjadi objek dari mata Veril hanya mengangguk kecil menjawab ucapan sang sahabat.

Arseno memasukkan tangan kedalam saku celana, memandang Veril datar. Jujur dia masih sedikit punya rasa jengkel pada gadis yang satu ini perial adu cek-cok mereka yang terjadi beberapa waktu silam. “ Ada apa?”

Veril hanya bisa mendengus pelan mendengar nada ketus dari Arseno. “Bisa lo kasih ini ke Tari?” Veril mengulurkan beberapa buku yang Arseno tebak berisi soal-soal tugas sekolah.

Dahi Arseno mengernyit tak paham. “Kenapa harus gue? Lo bisa kasih sendiri kan? Gue banyak kerjaan.”

“Jangan banyak alasan. Gue tahu lo mau ketemu Tari tapi nggak punya alibi yang tepat buat ketemu dia.” Veril mendorong buku-buku itu hingga masuk ke dekapan Arseno secara paksa. “Itu bisa lo gunain agar bisa ketemu dia.”

My Illegal Boyfriend Where stories live. Discover now