#20 Uncertain

101 18 0
                                    

Delapan bulan kemudian ....

Setelah menyelesaikan pekerjaan di ruang kerja, Bara bergegas untuk menengok ke arah ruang keluarga. Yang di mana keluarga istrinya pasti sudah menunggu sejak beberapa jam lalu. Setiap malam menjelang jam sembilan, tepatnya setelah jam makan malam—Bara dan Rana selalu menyempatkan diri untuk berbincang bersama. Hal ini sangat ampuh untuk membuat keluarga kecil mereka menjadi harmonis.

"Wah, kau sudah menunggu sejak tadi, ya?" tanya Bara yang hendak duduk di samping Rana. Wanita itu tengah mengelus perutnya yang semakin membesar karena kehamilannya telah memasuki usia delapan bulan. Bara yang melihat itu, langsung meletakkan telapak tangan di permukaan perut Rana, mencoba merasakan apakah ada pergerakkan dari sang bayi. "Ya Tuhan ... dia bergerak." Bara tertawa senang setelah tangannya merasakan sesuatu yang bergerak dari dalam perut Rana. Seketika rasa lelah langsung menghilang.

"Dia menendang. "Rana ikut tertawa sekaligus meringis, karena pergerakkan itu membuat perutnya sedikit nyeri.

"Anakku ...," gumam Bara seraya mendekatkan wajahnya ke arah perut Rana dan mengecupnya dengan lembut.

Walapun bayi itu bukan anak kandungnya, Bara tidak membeda-bedakannya sedikit pun. Karena setelah Bara menikahi perempuan itu, Rana dan bayi yang dikandungnya merupakan bagian dari tanggung jawabnya.

Rana yang mengetahui bahwa Bara menaruh perhatian lebih ke bayinya, hanya bisa tersenyum haru.

Rana tidak menyangka bahwa Bara dapat menerima dirinya setulus itu dengan tidak mempermasalahkan dari mana anak itu berasal. Bahkan sampai sekarang, Bara tidak pernah sekali pun menanyakan siapa ayah kandung dari bayi itu pada Rana. Walaupun Rana dapat melihat bahwa pria itu ingin sekali mengetahuinya, tetapi Bara memilih untuk bungkam dan tidak mengutarakannya.

"Aku sudah tidak sabar untuk menunggu kelahirannya," ucap Bara seraya mengangkat tubuhnya agar bisa duduk dengan tegak. Ia membuka dua kancing kemeja atas dan mengibaskan tangan karena cuaca saat itu sangat panas. Padahal, pendingin ruangan masih berfungsi dengan baik.

"Kata dokter, kemungkinan dua puluh dua hari lagi," ucap Rana.

"Kau tidak ingin dioperasi saja?" tanya Bara yang membuat ekspresi Rana berubah. Kemudian wanita bersurai hitam panjang itu menggeleng cepat, menatap Bara dengan ekspresi jengkel. Bara yang melihat perubahan raut pada istrinya itu hanya bisa mengerutkan dahi. "Kenapa?"

"Aku ingin persalinan ini normal. Tidak mau operasi."

"Kenapa begitu? Bukankah operasi sangat memudahkanmu? Kau tidak perlu merasakan sakit. Seluruh tubuhmu akan dibius secara total." Bara berusaha membujuk agar Rana mau dioperasi. Bukan apa-apa, menurutnya operasi sangatlah mudah. Rana tidak perlu merasakan sakit saat melahirkan nanti.

"Tidak mau. Aku ingin melahirkan secara normal, kumohon ...." Bara menatap Rana yang tengah memasang wajah melasnya. Wanita itu selalu berhasil membuat Bara mengalah. Kalau Rana memasang wajah seperti itu, hati Bara menjadi tidak tega untuk menolak permintaannya.

"Terserah kau saja, yang terpenting bayinya sehat," ucap Bara akhirnya. Ia menyandarkan tubuhnya di bantalan sofa—masih terus menatap istrinya yang entah kenapa, semakin hari semakin cantik.

"Kenapa melihatku seperti itu? Sudah mulai jatuh cinta padaku?" goda Rana. Bara yang mendengar pertanyaan itu hanya terkekeh, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain—asal tidak ke wajah Rana.

Soal jatuh cinta, Bara merasa tidak begitu yakin. Selam ini yang Bara tahu, ia hanya melakukan apa yang seharusnya ia lakukan sebagai bentuk rasa tanggung jawab kepada perempuan itu. Menafkahinya secara lahir, menghormati, menghargai, dan mendengar setiap keluh kesah yang dirasakan Rana setiap saat. Ia tidak pernah mengutarakan perasaannya sendiri, karena memang Bara merasa bingung.

Sebenarnya perasaan macam apa yang ia punya untuk Rana?

Namun, tak bisa Bara pungkiri bahwa setiap ia dekat dengan wanita itu, Bara selalu merasakan kenyamanan yang tidak tertandingi. Akan tetapi, Bara belum menemukan rasa yang lebih dari rasa nyaman itu sendiri. Mungkin saja Bara memang belum menyadari rasa apa yang cocok diberikan untuk perempuan yang sekarang menjadi istrinya tersebut.

Berbeda dengan Bara yang masih bingung dengan perasaannya, Rana justru merasa yakin bahwa perasaan yang dimilikinya untuk Bara adalah cinta.

Namun, Rana belajar dari masa lalu. Ia tidak ingin mengejar pria sekeras dulu. Rana tidak ingin cintanya kembali bertepuk sebelah tangan. Ia tidak ingin dicampakkan lagi sebagaimana Cakra melakukannya.

Ah, berbicara tentang Cakra, Rana sampai sekarang tidak mengetahui kabar tentang pria itu. Karena menurutnya, semakin dalam ia mencari tahu, maka semakin lama pula lukanya untuk sembuh. Untuk saat ini, Rana lebih memilih memfokuskan diri dengan kehidupannya yang sedang berjalan. Kini Rana hanya menumpahkan segala perasaan miliknya hanya untuk Bara.

Walaupun Rana tidak mempunyai niat yang kuat untuk mengutarakannya, setidaknya lewat gerak-gerik Rana saja sudah cukup membuktikan bahwa wanita itu menyimpan rasa cinta kepada suaminya.

Namun, Rana tetaplah Rana. Wanita itu bahkan tidak betah menyimpan rahasia hatinya terlalu lama.

"Belum, ya?" tanya Rana lirih. Perempuan itu tahu bahwa secara tidak langsung, dirinya berharap cinta kepada Bara. Sifatnya yang satu ini tidak bisa dihilangkan, walaupun berbagai cara telah ia lakukan. Selama kurang lebih delapan bulan pernikahan mereka, pria itu bahkan tidak pernah menyentuh Rana lebih, selayaknya pasangan suami istri kebanyakan.

Bara sendiri hanya bisa terdiam. Pandangan yang semula ia alihkan ke arah lain, kini mengabur dan berubah menjadi hampa. Ia merasa bersalah kepada Rana karena belum memberikan apa yang seharusnya Rana dapatkan. Sebagai seorang suami, ia belum merasa sempurna karena belum mencintai Ranaseperti apa yang diharapkan oleh perempuan itu. Lebih tepatnya, Bara tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Bara masih meraba apakah perasaan yang dimilikinya itu adalah cinta, atau justru rasa semu belaka.

"Maaf, seharusnya aku tidak menanyakan itu." Bara dapat mendengar suara Rana bergetar. Tetapi, ia tidak bisa membuka mulutnya untuk melafalkan kalimat penghibur. Rasanya sangat sulit. "Ah, sepertinya sudah terlalu larut." Dengan segala kesulitan, Rana berdiri sembari memegang pinggangnya. Bara menatap sayu ke arah wanita itu. Ia merutuk dirinya karena tidak bisa tegas dengan perasaannya sendiri.

Maaf, aku terus berusaha, Ran.

"Mau ke mana?" tanya Bara menatap Rana.

"Sudah waktunya untuk tidur. Besok aku akan mengunjungi ayah dan ibu di rumah," jawab Rana tanpa menoleh ke arah Bara. Wanita itu tiba-tiba merasa enggan untuk menatap wajah suaminya. Di samping itu, terdapat kesedihan yang Rana simpan dengan apik tanpa Bara tahu.

Bara memandang Rana sebentar sebelum ia menampilkan senyum tipis miliknya.

"Baiklah. Kalau begitu, selamat malam, Rana."

Rana mengangguk dan membalik tubuhnya membelakangi Bara. Ia berjalan perlahan sampai ke kamar, kemudian menghilang di balik pintu.

Sementara itu, Bara tertunduk dengan ribuan penyesalan yang menghujam jantungnya.

                                                                               to be continue

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

                                                                               to be continue.

Bad Alive | Byun Baekhyun [Terbit]Where stories live. Discover now