Prolog

24.3K 925 28
                                    

Haya hanya bisa berdiri terdiam memandangi dia yang sedang menikmati makan siang di salah satu meja kantin Fakultas Kedokteran. Bahkan, Haya juga rela mengacuhkan pandangan menghakimi dari semua mahasiswa yang melewatinya. Wajar, Haya bukan berasal dari Gedung C. Jauh-jauh dia datang dari Gedung G hanya untuk memandangi dia makan tanpa ekspresi.

Tidak ada yang duduk di samping ataupun di depan orang itu. Tidak menoleh ke kiri atau ke kanan yang dilakukan orang itu. Hanya fokus pada piring di hadapannya, menghabiskan semua makanan, lalu minum begitu selesai.

Hari ini, seperti biasa, Haya harus kembali datang untuk orang itu, karena dia tidak akan pernah datang pada Haya. Hari ini, seperti biasa, Haya harus kembali mendekati orang itu, karena dia tidak akan mau mendekati Haya. Hari ini, seperti biasa, Haya harus kembali memperjuangkan cintanya, karena dia tidak tidak membalas rasa yang dimiliki Haya.

Meski banyak tanda tanya di kepala-tentang kapan semua ini akan membuahkan hasil-Haya tetap tersenyum lebar dan duduk di samping orang itu. Ia membersihkan sisa jus jeruk di sudut bibir orang itu dengan jemarinya, lalu, mengerlingkan mata dengan nakal.

"Selamat siang, Kak Bima tercinta!" sapa Haya dengan penuh keceriaan. Meskipun mata bulat itu memandangnya malas, Haya akan selalu memberikan pandangan penuh cinta. "Pasti dari tadi nunggu aku, 'kan? Mau makan siang bareng, 'kan? Tadi, aku harus ngumpulin tugas desain dulu, antre lama, jadi harus terlambat datang ke sini. Jangan marah, ya?" Tanpa tahu malu, Haya mencolek dagu orang itu.

"Memangnya siapa yang bilang kalau saya marah?"

Nada bicara datar itu, wajah tanpa ekspresi itu, tatapan malas itu, akan selalu membuat Haya jatuh cinta dengan begitu keras, dalam, lalu tenggelam. Haya tidak pernah menyukai orang lain sebesar ini. Ah, mungkin cinta. Karena sudah hampir satu tahun dia memiliki perasaan ini.

Bimantara Dional, 23 tahun, mahasiswa Jurusan Kedokteran di Citaprada. Bintang kampus karena menjadi vokalis The Earsucker, band yang selalu tampil di acara kampus dan juga kafe The Star setiap minggunya. Alis tebal, wajah oval, hidung mancung, mata bulat, suara rendah, rambut cepak, kulit putih bersih. Yang paling Haya sukai adalah bibir tebal Bima yang mirip bentuk hati.

Meskipun tinggi badannya tidak seberapa jika dibandingkan dengan Ares, Rigel, atau Bara, tetapi Bima akan selalu menjadi juaranya untuk Haya. Kacamata yang selalu bertengger di hidungnya tidak membuat Bima terlihat culun. Justru membuatnya sangat memesona.

"Dih, gengsi!" Haya memicingkan matanya, berpura-pura tahu kalau Bima hanya malu mengakui kalau dia menunggu Haya.

Padahal, sebenarnya, memang Bima tidak pernah peduli pada Haya.

"Jadi, mau ke kelas sekarang? Aku antar, yuk."

Bima melirik sport watch hitam yang ada di tangan kirinya. Masih ada 20 menit sebelum kelas berikutnya dimulai. "Gak usah urus kelas saya. Kamu makan siang dulu. Katanya, tadi sibuk kumpulin tugas."

Senyum lebar Haya menjadi semakin lebar saat mendengar penuturan Bima barusan. Tuh, 'kan? Gue bilang juga apa, dia tuh gengsi. Haya meletakkan tangannya di atas meja, menahan dagu untuk bisa menatap Bima lebih terang-terangan. "Kak Bima, tuh, ada rasa sama aku, cuma malu buat menunjukkan. Iya, 'kan?"

"Gak usah mengada-ada. Atau ... kamu mau saya tinggal di sini sendiri?"

"Eh, jangan dong!" Haya langsung menahan tangan Bima. Bisa mati karena tatapan tajam semua orang kalau Haya makan siang sendiri di sana. Tidak ada satu pun yang Haya kenal, kecuali Bima, di kantin ini. "Ya udah, aku pesan sekarang, deh. Tapi janji, jangan pergi."

Saat Haya sibuk memilih menu makan dan minum yang ingin dia pesan, Bima memilih untuk menyibukkan diri untuk membuka buku. Ya, untuk menyiapkan materi selanjutnya. Bima tidak merasa terlalu rajin dengan semua ini, karena dia sudah terbiasa membaca terlebih dahulu sebelum dosen sendiri yang menyampaikan materinya.

Namun, saat dia berusaha memahami isi buku, pikirannya langsung buyar dengan kalimat tanya yang tiba-tiba diucapkan oleh Haya.

"Kalau Kak Bima nggak ada rasa apa-apa sama aku, kenapa tiba-tiba ngajak aku pacaran?"

Kegiatan membaca Bima langsung berhenti. Pegangan kedua tangannya di ujung buku langsung melonggar. Perlahan tapi pasti, Bima melirik Haya. Tatapan penuh riang beberapa saat yang lalu hilang entah ke mana, berganti dengan tatapan begitu dalam dan penuh selidik.

Haya Fawnia, mahasiswi tergila di Citaprada yang mengejar-ngejar Bima selama hampir satu tahun ini berubah menjadi sosok lain. Katanya, mahasiswi Jurusan Fashion Design, tetapi selama di kampus lebih sibuk menempel pada Bima dibandingkan dengan pelajaran. Perempuan dengan dandanan heboh, bibir merah, bulu mata lebat, parfum menyengat, anting besar, dan rambut bondol yang selalu berantakan, kini kehilangan karakter centil, usil, dan cerianya.

Dia terlihat sangat serius kali ini. Menanyakan perasaan Bima yang masih tidak memiliki penjelasan saat status mereka sudah resmi sejak 3 bulan yang lalu.

"Kalau sekarang belum ada perasaan apa-apa, tapi, nanti Kak Bima pasti balas perasaan aku, 'kan?"

Bima hanya bungkam. Karena dia tidak mempunyai jawaban pasti atas pertanyaan Haya itu. Bima sendiri bingung, mengapa pada akhirnya, dia sendiri yang mengajak Haya untuk berpacaran.

*
*
*
HALOHA ANNYEONG!!!

Yeee, ketemu lagi kita di dunia orange ini. Akhirnya, setelah 1 bulan setengah menghilang dari peredaran bumi, author centil satu ini nongol juga. Pasti kangen kan? Kangen kaaaaaannnn? PASTI LAH!

Jadi, kali ini, sesuai permintaan para netijen, akhirnya gw nongol dengan kisah Haya-Bima! Prok ... prok ... prok .... Semoga, kalian suka dan menikmati cerita ini, yaaa. Kalo ada kritik dan saran, jangan pernah sungkan buat disampaikan, ya.

 Kalo ada kritik dan saran, jangan pernah sungkan buat disampaikan, ya

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.

Bini Ceye,
01 Juli 2020

Teka-Teki Saling [Tamat]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz