23. Pergi Berdua

4.4K 423 53
                                    

Aku tidak keberatan dibawa ke ujung dunia sekalipun. Asal bersama kamu, kebahagiaan akan selalu memenuhi rongga dadaku.


《¤》

Haya mengedarkan pandangannya. Pohon-pohon rindang, tanaman teh yang membentang, juga warna langit yang biru, semuanya sangat menyegarkan untuk mata Haya. Pemandangan asri ini tidak akan bisa didapatkan di Jakarta. Maka dari itu, Haya  merasa sangat berterima kasih karena Bima sudah mau mengajaknya ke tempat ini, ke Lembang, Bandung.

Mata Haya berhenti, menatap sebuah rumah sederhana di hadapannya saat ini. Berbagai tanaman hijau tumbuh dengan baik di dalam pot besar di teras rumah. Berbagai pohon buah tumbuh rindang di halaman depan. Belum lagi dengar rumput yang terlihat segar karena embun pagi.

"Kak Bima udah bilang aku ikut, 'kan?" Haya berbalik, menatap Bima yang sedang mengeluarkan beberapa barang bawaan mereka. Tidak mau terlalu merepotkan, Haya mengambil alih koper kecilnya. "Kalau Kak Bima belum bilang, terus aku diusir, gimana?"

Bima menggelengk. Dia melangkah lebih dulu untuk menginjakkan kaki di teras. "Nenek saya bukan kamu, yang kelakuannya bar-bar seperti preman."

Bibir Haya saat mendengar jawaban dari Bima. Belum sempat mengetuk pintu, seorang wanita baya sudah terlebih dahulu keluar dan memberikan senyum terbaiknya untuk Bima.

"Assalamualaikum, Nek."

"Waalaikumsalam. Ya ampun, kamu udah sebesar ini, Yon. Nenek kangen banget sama kamu."

Seperti nenek-nenek lain yang sudah lama tidak bertemu dengan cucu mereka, beliau memeluk erat Bima dan mengusap punggung cucunya itu. Bahkan, beliau tidak sanggup menahan air mata karena begitu bahagia.

"Kakak kamu mana?"

"Kak Cakra ada pekerjaan dulu di Jakarta. Dia akan mengusahakan datang ke sini sebelum malam," jawab Bima. Kemudian, Bima meminta Haya untuk maju beberapa langkah. Tanpa sungkan, Bima menggandeng bahu perempuan itu. "Ini Haya, Nek. Perempuan yang Dion ceritakan."

Nenek Bima—Nenek Asri—beralih menatap Haya. Senyum di bibirnya semakin lebar. Beliau juga tidak sungkan untuk memeluk Haya. Bagaimanapun juga, perempuan ini adalah kekasih cucunya. Bahkan, Cakra pernah berkata bahwa perempuan ini pula yang membawa kebahagiaan pada hidup Bima. Dan yang beliau dengar, perayaan ulang tahun Bima beberapa hari yang lalu adalah ide perempuan ini.

"Terima kasih banyak karena sudah merawat cucu Nenek dengan begitu baik," ucap Nenek Asri. "Cakra sudah banyak bercerita tentang kamu. Dan Nenek sangat bersyukur, Tuhan mengirim kamu ke dalam kehidupan cucu Nenek."

Haya mengangguk. Dia berusaha untuk terus tersenyum, padahal sedang dilanda gugup yang tidak terkira. Bukan apa-apa, Haya takut sifat bar-barnya tiba-tiba keluar. "Saya juga sangat bersyukur bisa bertemu dengan Kak Bima dan Kak Cakra, Nek. Mereka adalah adik kakak yang saling menguatkan satu sama lain."

"Lagipula, Nek, dia tidak sebaik yang Cakra ceritakan. Perempuan ini sering sekali membuat Dion pusing tujuh keliling." Bima ikut nimbrung. Dia tidak menghiraukan cubitan kecil di perutnya yang merupakan ulah Haya. "Kita lanjut ngobrol di dalam aja, ya, Nek? Dion udah kangen banget sama rumah ini."

Ketiganya berjalan beriringan, memasuki rumah sederhana itu. Haya bisa mencium udara alami yang menyejukkan, bukan udara yang berasal dari AC. Kursi di ruang tamu juga bukan merupakan sofa empuk, melainkan berbahan kayu dan terlihat begitu antik. Lukisan kaligrafi besar berlafadz Sang Maha Pencipta juga menarik perhatian Haya. Tidak lupa dengan foto pernikahan nenek dan kakek Bima yang memiliki warna dasar hitam dan putih. Sejuk, nyaman, dan bersahaja, itu adalah kesan dari rumah sederhana.

Teka-Teki Saling [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang