29. Berhenti

7.6K 529 58
                                    

Walaupun sangat berat, tetapi aku tidak pernah merasa lelah. Meskipun tidak mudah, tetapi aku tidak pernah menyerah. Namun, kali ini, maaf, aku harus untuk berhenti.

《¤》

"Kucing apa yang sering disebut oleh orang yang pacaran?"

Untuk ke sekian kalinya, Cindy melemparkan tebak-tebakan receh. Dia sengaja menaikturunkan alisnya menggoda Haya dan Jerico yang sedang menatapnya sebal.

"Jangan diem aja, dong, jawab juga. Masa gitu doang nggak tahu, sih?"

Haya menggelengkan kepala, lebih memilih untuk menyeruput jus jeruk miliknya. Saat bulir jeruk sampai di lidahnya, tiba-tiba Haya terdiam.

Dulu, minuman favoritnya adalah jus jambu. Setelah mengetahui bahwa Bima selalu memesan jus jeruk setiap makan, Haya mencoba untuk menyukainya. Asam, rasanya tidak jelas, lebih enak jus jambu, tetapi Haya tetap menikmati setiap gelas jus jeruk yang dia pesan. Baik saat dengan Bima atau sendiri. Hanya saja, kali ini jus jeruk miliknya terasa pahit.

"Kucing garong," jawab Jerico. Meskipun tahu jawaban dari Cindy nantinya akan membuat emosi, Jerico tetap mencoba. Dia melirik Haya yang terdiam. "Kucing garong, 'kan, Ya?"

"Hah? Eh, gimana?" Haya menatap Jerico dan Cindy secara bergantian, merasa telah melewatkan sesuatu di antara mereka bertiga. "Oh ... iya, kucing garong. Iya, 'kan?"

Cindy menggeleng, menyalahkan jawaban Haya dan Jerico. Dia tersenyum sombong, merasa berhasil mengalahkan temannya. "Kucingta kamu." Lalu, Cindy tertawa kencang. "Kucinta kamu, sering banget disebutin sama orang yang pacaran."

Kucinta kamu.

Saya cinta kamu.

Saya juga cinta sama kamu.

Sayangnya, Haya tidak pernah mendapatkan kalimat sederhana itu dari Bima, sekali pun, tidak pernah. Bahkan, sampai detik ini, dia tidak tahu alasan pasti mengapa Bima memintanya menjadi pacar malam itu. Bima dan perasaannya adalah hal yang paling krusial di dunia Haya. Dan bodohnya, Haya masih saja mau mencari, meski tahu ujungnya dia akan terluka.

Ponsel Haya berdering, membuatnya tersadar dari lamunan dan segera memeriksanya. Panggilan dari nomor tidak dikenal. Hanya karena terdorong rasa penasaran, Haya tetap mengangkat panggilan itu. "Halo?" Sapa Haya saat panggilan itu terhubung. "Maaf, ini sama siapa, ya? Bener mau menghubungi saya, Haya Fawnia?"

"Ini gue, Lesham," jawab orang di seberang sana, Lesham Dilarai.

Haya menutup bibirnya rapat-rapat. Ternyata, perempuan yang sudah menguasai Bima selama tiga hari inilah yang menghubunginya.

"Lo ada waktu hari ini? Ada yang perlu gue selesaikan sama lo. Ini penting, pengenal Dion. Kak Bima lo itu."

Kejadian di rumah sakit pada malam itu masih membuat Haya merasa sakit. Dan sekarang, perempuan ini malah mau bertemu. Semoga aja, yang mau dia omongin ke gue tuh adalah pengakuan kekalahan. Haya membuang napas kasar. "Oke, kelas gue udah beres. Lo mau ketemu di mana?"

"Gue udah ada di kafe biasa Dion manggung. Lo bisa ke sini? Soalnya, badan gue masih lemes kalau harus nyamperin lo." Suara Lesham dibuat selemah mungkin, dan itu membuat Haya sangat muak. "Gue kasih waktu dua puluh menit. Kalau lo nggak dateng, gue anggap lo lepas Dion buat gue."

Panggilan diakhiri secara sepihak. Haya menatap layar ponselnya dengan dongkol. "Cih! Katanya pianis nasional! Tapi nggak punya sopan santun! Lesham sia—" Haya langsung membungkam mulutnya saat menyadari bahwa nada suaranya sangat tinggi, membuat banyak orang meliriknya risi. Dia berdeham sambil menyimpan kembali ponsel ke dalam tas. "Gue harus cabut sekarang. Nanti di rumah gue aja kita ngerjain tugas kelompoknya. Bye! Muah!"

Teka-Teki Saling [Tamat]Место, где живут истории. Откройте их для себя