38 | Crash

2.3K 181 6
                                    

Mobil Melvin memasuki halaman rumah ibunya. Seragam sekolah telah melekat di tubuhnya. Rambutnya tertata rapi. Dia tidak langsung keluar, pandangannya agak kabur. Memijit pelipisnya karena pusing. Kemudian tangannya menyentuh dahinya sendiri, panas. Tak betah lama-lama di sana, dia pun keluar dari mobil.

Pintu rumah Indira tidak terkunci. Dia masuk ke sana. Duduk di sofa ruang tengah. Padahal cuaca cerah pagi ini, namun Melvin malah kedinginan. Dia menggigil, sedang kurang sehat.

Retta yang baru keluar dari kamarnya, mengernyitkan keningnya. Dirasanya ada yang aneh dengan Melvin. Dia mendekat, dan duduk di sebelah cowoknya itu. Mendadak, Melvin memeluknya erat. Yang membuatnya tersentak ketika merasakan panas tubuh Melvin. Dia segera panik, berusaha menguraikan pelukan dari Melvin. Tangannya terangkat, menyentuh dahi cowok itu.

"Ya ampun, Melvin. Kamu panas banget," gelisahnya. Oleh sebab itu, dia memanggil Indira. "Ibu!"

"Kenapa?" Indira datang ke sumber suara.

"Melvin sakit, Bu."

Indira pun jadi khawatir. Memeriksa suhu tubuh putranya itu. Sangat panas. "Melvin, kamu panas sekali, Nak. Gimana kamu bisa nyetir mobil dalam keadaan kek gini? Kenapa enggak telpon Ibu, aja! Ibu bisa ke rumahmu."

Tersenyum getir, Melvin menjawab, "Gak mungkinlah, Bu, aku minta Ibu ke sana. Nanti Ibu malah ketemu Ayah dan istri barunya itu."

"Tapi, demi kamu, Ibu gak masalah. Oh iya, kamu pusing?"

Melvin mengangguk.

"Kamu gak boleh sekolah hari ini. Habis sarapan, kita tebus obat." Indira melihat ke arah Retta. "Retta, kamu ke sekolah sendiri aja, ya. Naik motor Ibu."

Retta mengangguk. "Baik, Bu."

"Kamu bisa jalan, Vin? Ayo istirahat di kamar Retta."

Retta meneguk salivanya susah payah kala mendengar Indira mengajak Melvin istirahat di kamarnya. Ya, memang di rumah hanya memiliki dua kamar. Tapi, kenapa tidak di kamar Indira saja? Bukannya Retta tidak mengizinkan. Tapi, dia malah gugup jika cowoknya itu tidur di kamarnya, walaupun dianya akan pergi ke sekolah, tak ada di rumah.

Dengan langkah pelan, Melvin menuju kamar Retta. Indira berjalan di sebelahnya, sedangkan Retta tetap di tempatnya. Sekitar semenit kemudian, Indira keluar dari kamarnya.

"Retta, kamu belum sarapan, kan?" Indira bertanya.

Retta mengangguk.

"Bisa suapin Melvin dulu sebentar?"

Retta mengangguk. Mengekori Indira ke dapur. Mengambil sepiring nasi beserta lauk untuk Melvin, juga segelas air putih. Di kamarnya, dia membiarkan pintu terbuka, duduk di tepi tempat tidur. Dia mendapati Melvin memejamkan mata. Selimutnya menutupi sampai ke dada cowok itu.

Retta menyentuh wajah Melvin lembut. Sengatan rasa panas mengenai kulit tangannya. Karena itu, mata Melvin terbuka. "Vin, makan dulu, yuk! Habis ini mau tebus obat sama Ibu, kan?"

Tak ada jawaban. Tangan hangat Melvin malah menggenggam tangan Retta.

"Lo panas banget, Vin. Gue suapin lo makan!" khawatir Retta.

Melvin mengubah posisinya, menjadi terduduk dan bersandar di kepala tempat tidur. Melvin membuka mulutnya, menunggu Retta menyuapinya. Sebenarnya, untuk makan dan minum sendiri Melvin yakin dia mampu. Toh, sebelum bertemu Indira kembali, ketika sakit tidak ada seorang pun yang menyuapinya kecuali dirinya sendiri. Namun, saat ini dia ingin dan senang kalau disuapi, apalagi oleh orang yang dicintainya.

Langsung saja Retta menyuapi Melvin pelan-pelan. Dalam keheningan. Namun, dengan tatapan yang saling bertemu. Sarapan tidak habis, Melvin sudah kenyang.

Approccio [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang