39 | Forgive

2.4K 176 6
                                    

Selamat membaca! Semoga harimu menyenangkan^^

Di pelajaran terakhir hari ini, sang guru hanya menyuruh muridnya mengerjakan tugas dan dikumpulkan pada ketua kelas ketika bel pulang berbunyi. Tidak diawasi. Sehingga bagi yang mencontek, bagi yang berisik, atau berbagai tingkah lainnya tak ditegur. Lima menit sebelum bel berbunyi, Retta dan Adora sudah mengumpulkan buku tugas milik mereka pada Mark.

Terhitung tiga kali Retta dan Leo bertemu pandang. Namun, dia apatis. Retta mencoba melupakan kejadian tersebut. Tidak ingin memperbesarnya, walaupun dia masih kesal pada Leo saat ini. Lima menit sisa dia gunakan untuk melipat tangannya di atas meja dan memejam. Tidak berniat tidur benar-benar, bisa-bisa ketika bel pulang dia tak akan bangun—jika teman-temannya iseng dan tidak membangunkannya.

Suara bel pun berbunyi. Retta membuka matanya, kemudian menegakkan badannya. Alat-alat tulis dan buku-buku tak ada lagi di mejanya, sudah dia masukkan ke dalam tas sebelum dia memejamkan matanya tadi. Jadi, sekarang dia hanya perlu menyampirkan tasnya ke bahu. Menghindari berdesakan dengan teman-temannya yang buru-buru pulang, dia menunggu sesaat bersama Adora.

"Lo pulang sama Mark, kan?" Retta bertanya pada Adora kala kakinya sudah berjalan menuju pintu kelas.

"Iya. Dia, kan, mau beli es krim buat gue." Senyum riang terlukis di wajah Adora. "Tapi, gue tunggunya di parkiran. Dia kumpulin tugas kita ke guru dulu."

Bertepatan dengan langkah Retta di ambang pintu, Leo mengadang dengan wajah datarnya.

"Gue mau ngomong sama lo," ujar Leo pada Retta.

"Ngapain lo ajakin Retta ngomong? Jangan-jangan lo mau jahatin teman gue, ya?!" Adora menukas, tatapannya tajam.

Terdengar helaan napasnya Leo. "Gak usah lebay deh lo! Gue mau ngomong serius. Tenang aja, gak bakalan gue jahatin. Lo bisa pantau gue sama dia."

Adora tidak membalas lagi dengan suara, tatapannya berubah sinis.

"Lo mau ngomong apa?" Retta cukup sabar. Sebagai manusia, memang sebaiknya saling memaafkan.

"Di sana aja!" Leo menunjuk ke jarak beberapa meter dari ambang pintu. Retta mengikutinya, dan Adora di dekat ambang pintu untuk memantau.

"Gue mau minta maaf soal tadi." Leo mengawali. "Gue benar-benar minta maaf, Retta. Karena udah dorong lo. Pasti sakit, kan, kena meja itu? Gue kayak kasar banget sama lo. Setelah gue pikir-pikir, gue emang sangat salah. Tapi, pas gak sengaja tabrakan sama lo gue memang lagi emosi dan marah. Ada musuh gue yang bocorin ban motor gue. Gue habis berantem sama tuh anak.

"Terus pas ke kantin gak sengaja tabrakan sama lo. Emosi gue langsung meledak. Dan lo jadi pelampiasan kemarahan gue. Sekali lagi gue mau minta maaf. Gue serius. Lo mau maafin gue, gak?"

Retta tidak buru-buru menjawab. Melihat bagaimana serius dan tulusnya Leo meminta maaf, dia luluh. Akhirnya anggukan kepalanya membalas.

"Beneran?" Leo memastikan dengan wajah senangnya.

Kemudian Retta mengangguk lagi. "Iya, gue maafin. Tapi, jangan diulang lagi. Cara lo ngelempiasin itu gak baik. Besok-besok jangan jadiin orang lain sebagai pelampiasan lo. Cukup gue aja yang terakhir!"

Leo mengangguk. Menjadi lega setelah mendapat maaf dari Retta. Sedari tadi dia memang kepikiran, bahkan teman-temannya mendesaknya agar meminta maaf. "Iya. Makasih udah maafin gue. Gue duluan, ya!"

"Iya."

Kemudian Leo duluan yang berlalu.

Adora mendekat. "Kalian ngomongin apa?"

"Dia minta maaf."

"Baguslah. Tuh anak sadar!"

🌠🌠

Masuk ke rumah, Retta langsung disambut dengan Melvin yang duduk di sofa. Tatapan cowok itu padanya sulit diartikan. Yang pasti, sepanjang jalannya terus diperhatikan. Kaus merah tua berlengan pendek membaluti tubuh Melvin. Juga mengenakan celana jeans. Retta bisa melihat kalau keadaan Melvin sudah lebih baik ketimbang tadi pagi.

Menunda masuk ke kamar dan berganti seragam, dia duduk di sebelah Melvin. Tangannya terangkat, menyentuh dahi Melvin. Bernapas lega, sudah tak panas lagi. "Omong-omong Ibu mana, Vin?"

"Ibu keluar sebentar," jawab Melvin sambil beringsut mendekat. Sehingga tubuh mereka jadi menempel. Retta pun tidak terlihat menghindar.

"Makasih udah sembuh, Vin." Retta mengulas senyum manis. Tak lama surut, karena Melvin masih menatapnya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan.

"Di sekolah lo baik-baik aja, kan?" Pertanyaan itu mengudara.

Dan Retta, kesulitan menjawab. Dia tidak akan memberi tahu Melvin. Itu tidak boleh dikatakannya. Tidak ingin membawa masalah pada Melvin. "Iya, gue di sekolah baik-baik aja, kok."

"Lo serius?" Melvin terlihat mengintimidasi.

"Gue serius." Jika bohong demi kebaikan mungkin tak apa, begitu yang dipikirkan Retta.

"Jangan bohong!"

Retta curiga. Melvin seperti tahu sesuatu. Atau jangan-jangan ... Melvin memang sudah tahu? Tapi, bagaimana bisa? Daripada penasaran, dia harus menyinggungnya. "Kenapa lo tanya-tanya kayak gitu? Kenapa, sih?"

"Emangnya gak boleh gue tanya-tanya?" Melvin menyentuh tangan Retta. Matanya tepat memandang bola mata Retta, kini teduh dan hangat. "Gue, kan, cuma mau mastiin kalo lo baik-baik aja."

Sebab itu, rasa curiga Retta sekejap raib. Menjadi hal menyenangkan karena dikhawatirkan Melvin seperti itu. "Makasih, Vin. Udah khawatirin gue."

"Memang seharusnya, kan?" Senyum manis Melvin terlukis. Dan Retta sangat suka itu. "Lo, kan, punya gue."

Retta menunduk. Melvin memang selalu ada cara membuatnya jadi deg-degan. Kata-kata sederhana saja mampu membuatnya jadi gugup dan gembira. Dia beranjak dari sebelah Melvin. "Gue mau ganti baju dulu."

"Oke. Nanti balik ke sini lagi, ya! Jangan sembunyi di kamar."

"Siap, Bos!" Retta berlalu. Sampai tidak sadar kalau Melvin masih terus melihatnya.

Melvin agak kecewa, tetapi tidak menunjukkannya. Dia marah, juga tak ditunjukkan. Retta tak jujur padanya.

Benar, Melvin tahu sesuatu. Sesuatu yang membuatnya marah.

🌠🌠

To be continued....

By Warda.

Approccio [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang