Friendshit

346 82 3
                                    

Seperti yang telah disarankan oleh teman sekamarnya, kini Rara dan Jodi menjadi lebih awas. Mereka mencoba menemukan keadaan yang ganjil dari pekerjaan mereka. Sering kali mereka menemukan hal-hal yang dianggap ganjil tetapi rupanya hanya hal biasa saja.

Mereka juga sering berselisih pendapat hanya dengan hal-hal kecil. Contohnya beberapa jam lalu, Rara dan Jodi meributkan kualitas rumput laut yang disortirnya.

“Ini tuh, kategori B, lihat aja ada kerutan di sisi yang ini,” kata Jodi menunjuk rumput laut di tangannya.

“Halah, kan cuma sedikit,” timpal Rara mengambil rumput laut di tangan Jodi lalu melemparkannya ke wadah dengan tulisan A besar.

“Ih, kalau sampai ada yang keracunan—“

“Lebay, deh. Mana ada orang keracunan rumput laut yang berkerut?”

“Ada. Kalau tuh orang alergi rumput laut,” kata Jodi tak mau kalah.

Rara memutar bola matanya, “Ye, kalau gitu, mo rumput laut itu berkerut atau lurus kek rambut di rebonding juga tuh orang bakal sakit. Namanya juga alergi.”

“Tuh, kan. Makanya ati-ati kalau di bagian Quality Control, tuh. Menyangkut hidup mati konsumen,” kata Jodi lagi.

Rara menghirup napas dalam-dalam, “Hidup mati, your head!”

“Your head?”

“Ndasmu!”

Rion yang tak sengaja lewat mendengar umpatan Rara dalam bahasa Jawa itu terpingkal-pingkal. Ia sering berkeliling ke bagian-bagian pabrik untuk mengecek laporan. Bagian favoritnya ialah Quality Control di mana kedua teman sekamarnya ditempatkan. Ia sengaja berlama-lama di sana hanya untuk menggoda kawan-kawannya itu.

“Duh, Ayah Bunda, yang mesra, ya!” goda pemuda itu. Ia lantas meninggalkan mereka berdua sambil terkekeh.

“Siapa yang Bunda?” tanya Jodi penasaran.

“Mboh!” Rara yang kesal memilih menekuni pekerjaannya. Ia mulai terbiasa dengan sindiran-sindiran Rion. Hatinya sudah cukup tenang. Dia kini berkonsentrasi menemukan ujian demi kenaikannya ke posisi staf kantor. Sudah terlalu lama ia membuang-buang waktu di pabrik. Bahkan setelah hampir satu bulan di sana, ia belum menemukan Yuda. Namun, sudah beberapa kali ia bertemu dengan Dhimas.

Hati Rara terserang rindu yang begitu dalam ketika melihat atasannya yang mirip dengan kekasihnya itu. Ia ingin hanya sekadar bersapa dengannya. Namun, setiap kali bertemu, Dhimas selalu dikelilingi kawan-kawannya. Rara merasa bagaikan pungguk yang merindukan bulan.

Pernah beberapa kali saat Dhimas makan di kantin, Rara memergoki lelaki itu memandangnya. Namun, segera setelah Rara memandang balik matanya, lelaki itu segera mengalihkan pandangannya. Gadis itu merasa aneh. Hatinya terasa sakit.

Hampir sebulan juga Rara tak bertemu dengan Mbak Bella, orang yang menerimanya masuk ke pabrik tersebut. Kini, saat di kantin, tiba-tiba wanita cantik itu datang ke mejanya.

“Hai, Satria!” sapa Mbak Bella yang kini mengenakan blush putih dan rok span yang sangat serasi dengan tubuhnya.

“Eh? Selamat siang, Mbak!” balas Rara mengangguk sopan.

“Wah, rambutmu sudah panjang. Ga kayak tentara lagi,” kata Bella duduk di depan Rara. Ia tak membawa makanannya. Rara menduga tak mungkin seorang bos besar mampu makan makanan yang disediakan kantin. Ia juga menduga sang bos sengaja ke sini, tapi untuk apa? Ia tak tahu.

“Iya, Mbak,” jawab Rara menyisir rambutnya dengan tangan. “Ada apa, Mbak? Tumben ke kantin?”

“Oh, aku mau ngasih pengumuman. Kalau pengumuman cuma ditempel di dinding, ga ada yang bakal denger. Nah, kalau di kantin gini, pasti banyak yang denger,” jelasnya.

Rara menyedot minumannya sebelum bertanya, “Pengumuman apa, Mbak?”

“Eh? Bukan pengumuman resmi, sih. Cuma kayak undangan aja.”

“Undangan?” Rara bertanya-tanya. Mungkinkah Mbak Bella mau menikah?

Mbak Bella bangkit dari duduknya. Ia lantas menepukkan tangannya beberapa kali sambil berseru meminta perhatian. Setelah semua karyawan yang ada di kantin memperhatikannya, ia lantas berkata, “Selamat siang semuanya. Saya ingin mengundang Anda sekalian untuk hadir pada acara ulang tahun yang diadakan di gedung Graha Sentosa sabtu depan pukul tujuh malam. Tidak usah membawa apa-apa. Dalam acara itu juga akan diadakan gathering singkat untuk saling bersilaturahmi sesama karyawan, jadi saya harap semua dapat menyempatkan waktunya untuk hadir. Terima kasih.”

Mbak Bella lantas mengembuskan napas panjang. Ia kembali duduk di depan Rara. Senyumnya mengembang. Perasaan lega terpancar dari wajahnya yang ayu. Suara tepukan dan seruan gembira meramaikan suasana kantin itu.

“Wah, selamat ulang tahun, ya, Mbak!” ucap Rara.

“Belum, masih besok sabtu,” Mbak Bella tersenyum malu, “Aku belum pernah merayakan ulang tahun sebelumnya. Aku sedikit grogi seebenarnya.”

“Hah? Masa?” Rara tercengang. Orang yang terlahir kaya di depannya itu belum pernah merasakan tiup lilin kah? Tak bisa dipercaya.

“Serius! Aku belum pernah punya teman sebelumnya. Aku terlalu sibuk belajar,” jelas Mbak Bella.

“Wah!” Rara terpesona dengan fakta yang didapatkannya dari Mbak Bella. Ia kini sadar bahwa setiap manusia mempunyai masalahnya sendiri. Ia sering menilai orang kaya pasti hidupnya bahagia. Namun, meski memang sebagian besar bahagia, ternyata masih ada orang kaya yang tidak mendapat kebahagiaan. Sekarang ia menjadi lebih bersyukur dan menerima apa adanya.

“Kenapa?” tanya Mbak Bella mengernyit ke arah Rara.

“Enggak, sih. Aku pikir orang kaya itu mesti bahagia.”

Mbak Bella mengerutkan keningnya, “Kaya bukan standar kebahagiaan, Sat.”

Rara mengangguk setuju, “Memang, sih, Mbak. Tapi kalau punya uang setidaknya bisa beli apa yang dipengen. Kalau bisa memiliki semua yang diinginkan sama juga dengan bahagia.”

Mbak Bella tersenyum lagi, “Tapi setelah keinginannya sudah terpenuhi semuanya, trus apa? Tujuanya sudah tercapai, yang ada tinggallah kekosongan.”

“Ya diisi lagi,” kata Rara santai. “Bukannya manusia tak pernah puas?”

“Kamu betul, Sayang. Tapi, ada kalanya uang tak bisa memberi keinginan seseorang. Contohnya teman.”

“Bisa aja, Mbak. Kasih aja seseorang uang biar jadi teman,” kata Rara lagi.

“Itu namanya Friendshit. Ga bagus,” kata Mbak Bella.

“Mending ga punya temen daripada punya friendshit,” saut Jodi ikut duduk di samping Mbak Bella.

“Nah,” Mbak Bella menjentikkan jarinya. Ia juga mengangguk setuju dengan pendapat Jodi.

“Pada ngomongin apa, nih?” Rion datang dengan nampannya kemudian duduk di samping Rara.

“Friendshit,” jawab Jodi menyuapkan sesendok penuh nasinya ke mulut.

“Friendshit itu apanya Friendchicken? Masih sodaraan?” tanya pemuda berambut acak kadut itu.

“Friendshit itu—“

“Udah, Mbak. Ga usah dijelasin. Kasihan napasnya terbuang sia-sia,” potong Rara.

“Iya, Mbak. Bisa serangan jantung kalau ngeladenin nih bocah,” timpal Jodi.

Mbak Bella membelalakkan matanya dengan bingung. Ia menunggu reaksi marah dari Rion karena menurutnya kedua orang itu telah menyinggung hatinya. Namun ia terkejut dengan reaksi Rion yang malah terkekeh geli. Ia bertanya dalam hati, “Apakah ini yang namanya berteman? Tak ada kemarahan.” Wanita bertubuh sintal itu tersenyum. Hatinya merasa hangat di tengah karyawan pilihannya.

***

jadi, Othor juga mo nanya, kalian apanya friendfries, Gais? 😏😏😏😏

French Fries, Thor. 😅

Halah, beda dikit. 😂😂

Jangan lupa klik like, komen, dan vote. Nanti aku bilangin friend-friend yang lain, loh.

He is Beautifull (Tamat)Where stories live. Discover now