Misteri

337 71 0
                                    

“Halo,” Rara mendengar bunyi tut nyaring, menandakan sambungan teleponnya terputus. “Halo, Yuda?” ulangnya. Ia syok, tak menyangka bahwa Yuda memutuskan hubungannya secara mendadak. Kenapa? batin gadis itu. Air matanya menetes, deras. Hatinya terasa sakit.

Ia bangkit dari dipan, berdiri memandang cermin di dinding, mengamati dirinya yang kusut. Rambut yang dulu panjang dan indah kini menjadi pendek. Kulit mulus terawat, menjadi kusam dan berjerawat. Napasnya yang sesak harus ia terima saat dadanya selalu diperban supaya payudara tidak menonjol. Bibirnya kering sementara air mata terus membasahi pipinya. Bahu lunglai tak mau bergerak, hanya sekadar mengusap partikel yang terus menetes dari kantung matanya. Bahunya melorot, ia jelek. Jelek sekali. Tapi, sekarang ia tak peduli.

Hatinya tercincang dengan kata yang barusan didengarnya di telepon. Yuda memutuskan hubungannya. Kenapa sekarang? Kenapa saat ia sudah melangkah sejauh ini? Kenapa saat ia sudah berkorban sebanyak ini? kenapa tidak dari dulu?

Mata Rara yang kabur menatap sesosok wajah yang sedang menatapnya dengan pandangan iba. Rambutnya yang sama kusutnya dengan dirinya memantul di cermin. Ia bertanya pada wajah itu, “Apa yang harus kulakukan?”

Rion yang prihatin memilih diam sejenak. Ia menghampiri gadis itu, meletakkan tangan di bahunya, menguatkannya sebelum berkata, “Mundur atau maju?”

Rara menatap pantulan Rion yang berdiri di sampingnya, “Apa maksudmu?”

“Mundur, pulang ke rumah, melupakan Yuda, mengikhlaskan hubungan kalian. Atau maju, mencari Yuda, meminta keterangan darinya,” kata pemuda itu.

Rara bergeming sekejap. Ia memikirkan perkataan kawannya itu, “Apa risiko kedua pilihan itu?”

“Mundur, kau tak akan pernah tahu kebenaran. Maju, kau hanya akan mendapati kesia-siaan.”

Rara merenung. Ia menunduk. Gejolak batinnya menimbang-nimbang apa yang akan dipilihnya. Rara merupakan gadis yang keras kepala. Namun, untuk saat ini, ia tak tahu seberapa kekeraskepalaannya dapat membuatnya bertahan. Ia ingin menyerah. Ia sudah kalah.

“Bagaimana menurutmu jika kau jadi aku?” tanya Rara kemudian.

Rion mengelus dagunya. Ia berpikir sejenak. “Well, tanyakan hatimu, pakai logika, timbang dengan hati-hati, pikirkan masak-masak!” pemuda yang masih ileran itu menepuk bahu Rara singkat. Ia kemudian menarik handuk lalu keluar untuk mandi, meninggalkan gadis yang bimbang itu.

****

“Rara sakit apa?” tanya Jodi yang duduk di meja kantornya. Ia menata kertas-kertas yang keluar dari mesin printer. Hari ini, di kantor sumpek itu hanya ada mereka berdua. Rara izin tidak masuk kerja.

Rion mengedikkan bahunya, pura-pura tidak tahu menahu, “Paling demam. Hujan-hujaan mulu, sih.”

“Oh ....”

“Kenapa?” tanya Rion memicingkan matanya. Ia mendekatkan kepalanya ke arah Jodi, memberikan tatapan curiga

“Eh? Nggak apa-apa,” jawab Jodi gugup. ”Sebagai teman kan harus perhatian.”

“Masa?”

“Ah, udahlah!” saut Jodi. “Omong-omong, bagaimana lo tahu kalau nama Yuda sudah nggak ada di pabrik ini?”

Rion menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia mengotak atik komputernya, “Dari data karyawan.”

“Kok, lo dapat akses ke sana?”

“Tahu Budi? Anak buah Ian, cowok pendek yang wajahnya mirip kodok, staf HRD?” tanya Rion santai.

“Yang rambutnya gondrong?”

He is Beautifull (Tamat)Where stories live. Discover now