Keren

342 72 0
                                    

"Terlambat," seorang pemuda berambut bak sarang burung mencegat dua orang gadis di tengah pintu rumah sakit.

"Hai, On!" sapa salah satu gadis berbaju necis, berambut panjang diwarnai.

"Apa maksudnya terlambat?" tanya gadis satunya, berambut hitam pendek, berbaju sederhana-blus salem dan jins pensil panjang. "Jodi sudah end?"

"Hai, Clarisa," balas Rion, "dan, hai Rara. Kalau gini kamu kayak cewek, lho. Serius."

"Jodi gimana?" tanya Rara mengabaikan komentar Rion.

"Nggak tahu," jawab Rion. "Masih di ICU."

"Trus, kenapa terlambat?"

"Katanya tadi mo datang jam 8, ini udah jam 8 lebih seperempat. Terlambat, dong."

"Ugh!" seru Rara kesal.

"Sabar. Yuk, masuk!" kata Clarisa menenangkan sahabatnya.

Mereka berjalan ke dalam rumah sakit. Hari itu merupakan hari libur, jadi tak banyak orang yang menjenguk. Namun, beberapa perawat tak berhenti melayani pasien. Mereka wira-wiri membawa baki berisi obat, makanan untuk sarapan, sprei baru, dan macam-macam lagi. Bahkan, beberapa mengantar pasien untuk menjalani perawatan di ruang tertentu.

Lorong demi lorong mereka lewati. Untuk ukuran rumah sakit daerah, tempat di mana Jodi dirawat merupakan rumah sakit yang termasuk besar dan lengkap. Banyak ruangan-ruangan untuk rawat inap serta IGD yang berada di gedung terpisah, namun masih terhubung dengan lorong panjang.

Setelah melewati pintu masuk, bagian informasi, lalu menuju bangsal-bangsal, barulah Rion berhenti di bagian paling horor di rumah sakit itu-kamar mayat. Rara yang hatinya sudah tak keruan mulai menangis. Matanya memerah, "Katanya masih di ICU? Kok, di kamar mayat?"

Clarisa yang merasa kasihan mengelus pundak sahabatnya. Sedangkan Rion yang baru saja menyadari sesuatu berbalik, menatap tulisan Kamar Mayat di atas pintu di belakangnya

"Bukan gitu. Aku bingung di mana ruang ICU, jadi berhenti bentar," jelas pemuda berkaus biru itu.

Clarisa mendengus menahan tawa. Rara mengapus air matanya dengan kasar, "Kamu tuh, ya, bener-bener, deh. Bikin sebel tahu, nggak? Kalau emang nggak tahu, kenapa nggak nanya?"

"Emang kamu tahu?"

"Ya enggak, lah-"

"Nah, kan, kamu juga nggak tahu."

"Ya jelas nggak tahu, dong! Aku aja baru tahu kalau ada rumah sakit di sini," kata Rara sebal. "Maksudku, kenapa nggak nanya petugas tadi, di mana ruang ICU?"

"Aku udah tanya. Katanya lorong ke-tiga belok kanan, ujung bangsal Mawar ada turunan. Nah, turun dikit, belok kanan lagi. Gitu," jelas Rion.

"Ya udah, kita udah berapa lorong?"

"Nah, itu masalahnya. Aku lupa nggak itung."

Rara memutar bola matanya, "Ugh! Pengen aku cubit ginjalmu?"

"Udah-udah. Tuh, di sana ada perawat. Aku tanya dulu. Kalian jangan bertengkar. Kalau nggak mau kumasukin ke kamar itu," kata Clarisa melirik kamar berbau kapur barus yang menyengat itu.

Setelah beberapa dengusan kesal dari Rara, Clarisa kembali. "Yuk, terus," katanya menggandeng lengan sahabatnya. Mereka melewati beberapa belokan dan kamar-kamar lagi hingga menemukan pintu kaca buram dengan tulisan ICU berwarna merah.

Seorang wanita yang sudah berumur setengah abad terihat duduk di kursi depan ruang ICU. Tangannya yang gemuk dan keriput meremas-remas sapu tangan. Sesekali matanya menatap ke pintu kaca itu. Rambutnya yang pendek kelabu disilakan ke belakang telinga.

He is Beautifull (Tamat)Where stories live. Discover now