Rahasia

385 76 5
                                    

Di sebuah ruangan hanya terdengar suara jari-jemari yang menekan tuts keyboard komputer. Ketiga orang yang berada di sana sibuk mengerjakan laporan-laporannya untuk besok. Rasa lelah karena hampir delapan jam bekerja tak terasa begitu menyiksa. Mereka saling diam, fokus ke mana layar menampilkan deretan huruf dan angka-angka.

Terkecuali Jodi. Memang jarinya menekan tuts-tuts keyboard komputer, tetapi sesekali matanya mengintip insan yang bekerja di samping mejanya. Matanya menangkap helaan napas Rara. Ia memperhatikan bahu gadis yang menyamar itu melorot rendah, menandakan kurangnya semangat. Rambut yang semakin panjang samar-samar meperlihatkan gender aslinya.

Dering interkom berbunyi nyaring di antara kebisuan yang sudah terjalin semenjak empat jam yang lalu. Setelah istirahat makan siang, mereka bertiga yang berkantor di ruangan tersebut saling diam. Rara yang tak tahu harus bicara apa setelah mendengar kisah tragis adik Jodi memilih tak membuka suaranya.

Jodi, yang mendapati kebisuan Rara juga memilih bungkam. Sedangkan Rion yang tak mau memangku jabatan sebagai burung merpati pengantar pesan pun memilih untuk menahan beo-annya. Meski mulutnya gatal ingin menggoda mereka berdua, tapi ia manahannya.

Rion menekan tombol telepon, menghentikan dering yang mengiris kesunyian itu. Rupanya, bos mereka meminta laporan mutasi hari itu segera di kirim ke mejanya. Dengan sigap, pemuda bertampang menggemaskan itu mengedikkan dagu ke Rara, mengisyaratkan untuk melaksanakan perintah atasan.

Rara yang memang bertugas merangkum semua laporan meraih map biru bertanggal hari ini yang telah disiapkan. Gadis itu lantas bangkit, melangkah gontai ke pintu.

Sejujurnya, ia tak mau bertemu dengan Dhimas lagi. Setiap melihat laki-laki itu, hatinya kembali teriris. Sebelum keluar, Jodi menyahut map biru di tangannya. Tanpa kata-kata ia pergi ke ruangan Dhimas, menggantikan tugas Rara.

Gadis itu sempat melongo sekejap. Mulutnya tak mampu sekadar mengucap terima kasih. Ia mematung di tengah pintu, kemudian dengan pelan memutar tubuhnya, kembali ke balik meja.

“Ksatria, sekali,” komentar Rion.

Rara mengerjap-ngerjapkan matanya, “Huh?"

“Kalian udah nggak marahan, ya?” tanya pemuda berambut bak sarang burung itu. “Aku kepo, deh! Sekarang apa lagi?”

Rara menaikkan alisnya, “Apa?”

“Kalian itu labil baget. Kayak Bocil lagi pacaran. Sekarang sayang-sayangan, lima menit kemudian saling caci, satu jam kemudian diem-dieman,” kata Rion.

Rara memutar bola matanya, “Udahlah!”

“Dih, aku kepo, nih! Kalau nggak mau cerita, aku nggak mau dengerin curhatmu lagi! Ogah!”

Rara melirik Rion. Ia menngambil napas panjang, kemudian mengembuskannya kuat-kuat. Gadis itu lantas menceritakan kejadian di toilet tadi. Ia menceritakan kisah yang dituturkan Jodi tentang adiknya yang bernama Sabrina. Setelah selesai, ia bertanya, “Lalu, aku harus bagaimana?”

“Ya udah, kamu lupakan Yuda. Pulang ke rumah, bobo manis di sana, buka hati untuk yang lain,” saran Rion.

Rara mendengus, “Ngomong mah mudah.”

“Hidup cuma sekali, Sist. Jangan sia-siakan mengejar yang pergi, menolak yang datang.”

Gadis itu tersenyum sinis mendengar saran kawannya, “Coba kalau kau jadi aku. Gimana perasaanmu kalau itu Valerie?”

Pemuda berbadan kurus itu mengerutkan bibirnya, “Wah, Valerie sih nggak mungkin selingkuh, apalagi membunuh selingkuhannya. Tapi, kalau memang Valerie mo niat ngebunuh orang, aku bantuin. Aku tahu cara membunuh yang baik dan benar. Nanti aku kasih tutorialnya.”

He is Beautifull (Tamat)Where stories live. Discover now