V E N I V I D I

1K 113 31
                                    

Suara dentingan simbal menjadi tanda berakhirnya penampilan band SMA Nusantara, Enam Hari. Riuhan tepuk tangan terdengar di seluruh penjuru aula SMA Nusantara.

Sangaji, pemimpin Enam Hari mengetuk-ngetuk microphone, “Terima Kasih, HariKu!”

Penonton yang mayoritas wanita itu mulai berteriak teriak lagi. Semua anggota Enam Hari melepaskan alat musiknya dan berkumpul di tengah tengah panggung.

Riuh rendah suara penonton masih terdengar, Jacob, sang gitaris mengangkat microphone nya. Ia berdeham sekali, “Di kesempatan yang baik ini, kami akan mengumumkan sesuatu.”

Sangaji melanjutkan, “Penampilan tadi… adalah penampilan terakhir kami sebagai Enam Hari.” Yang langsung disambut oleh sorakan kecewa.

“Kami mengucapkan banyak terimakasih pada HariKu, yang menemani kami selama 3 tahun ini.” Sangaji mengambil napas untuk melanjutkan kalimatnya.

***

Pak Jaya, selaku guru musik mereka, bertepuk tangan saat mereka masuk ke dalam ruangan. “Kerja bagus, Anak-anak.” Pak Jaya memperhatikan Enam Hari yang sedang minum.

“Bapak bangga sama kalian.”

3 tahun lalu, sekolah membutuhkan band untuk mewakili sekolah dalam perlombaan se kabupaten.

Pak Jaya, yang menjabat sebagai guru musik di SMA Nusantara, ditugaskan untuk membentuk sebuah band dalam waktu 6 hari saja.

Dalam kurun waktu 6 hari, Pak Jaya berhasil mendapatkan 4 personil.

Besok sudah hari ketujuh, tapi Pak Jaya masih merasa ada yang kurang dari bandnya. Empat personil seharusnya sudah cukup, kan?

Sedang pusing memikirkan band yang akan dibentuk ini, seorang siswa memberitahu bahwa dirinya dipanggil ke ruang kepala sekolah.

“Ada yang terlibat tawuran, pak.”

Pak Jaya melirik jam di tangan kirinya kemudian menggelengkan kepala, menambah pekerjaannya saja, pikirnya.

Sebagai guru musik yang merangkap di bagian kesiswaan, Pak jaya sering kali dihadapkan kejadian seperti ini. Biasanya hanya sekedar bolos atau paling parah merokok. Tawuran? Jarang terjadi.

Sesampainya di ruang kepala sekolah, Pak Jaya sedikit terkejut karna hanya ada 2 siswa, perempuan dan laki-laki. Tapi yang perempuan sepertinya bukan siswa sekolah ini, seragamnya berbeda.

“Pak saya udah bilang jujur, saya nggak ikut-ikutan! Mana ada tawuran bawa gitar?” Siswa laki-laki itu sedang membela diri ke kepala sekolah.

Kalau sudah menyangkut tawuran, kepala sekolah yang akan turun langsung. Pak Jaya hanya bertugas memantau saja.

“Saya cuma nemenin dia gitaran, pak. Coba bapak suruh dia nyanyi, pasti bapak ikut kesengsem juga. Suaranya dia mantep, pak.” Kali ini si perempuan yang bicara.

Tanpa diduga, kepala sekolah mempersilakan siswa laki-laki tadi bernyanyi.

Mendengar siswa itu bernyanyi, Pak Jaya yang tadinya hanya memikirkan kapan pulang, mulai menaruh fokus pada siswa tersebut.

Pasalnya, suara siswa laki-laki ini unik sekali. Serak tapi tetap berkarisma.

Saat itu juga Pak Jaya sadar, ia telah menemukan personil ke 5, sekaligus personil terakhir.

Dan sekarang, personil terakhir tersebut sudah selesai menjalankan tugasnya menjadi leader dari band ini. Walaupun Enam Hari adalah band sekolah, tapi band ini sudah cukup terkenal di kalangan anak SMA di kotanya.

[2] kacang goreng • parksungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang