Bagian 10

3.7K 597 28
                                    

Setelahnya aku pergi ke kamarku dalam diam. Semua sudah selesai. Tak ada lagi yang harus dipertahankan, tidak ada lagi yang perlu dikatakan. Tak ada perpisahan dengan pelukan terakhir dan janji manis untuk bertemu lagi. Karena itu semua sudah tidak berarti jika perpisahan itu berarti mati.

Aku terseok-seok kembali ke kamarku, ambruk pada futon dingin yang terlalu lama kutinggalkan. Air mataku masih terus mengalir, meskipun hatiku mati rasa untuk terus sakit. Menyesal. Putus asa. Aku tak berguna. Bahkan hanya untuk menghibur paman agar membatalkan putusannya pun aku tak mampu. Dan sekarang aku harus menghadapi semua kenyataannya.

Hujan masih turun tak tahu kapan akan berhentinya. Gemuruhnya masih terdengar keras menubruk atap genting. Meskipun begitu telingaku tetap awas mendengarkan gedebuk suara dan rintihan kesakitan dari sebelah kamar. Menghancurkan mental secara perlahan, membunuh nurani. Tak sedikitpun aku tergerak untuk menolongnya. Hanya bisa menatap datar pada dinding penghalang yang membatasiku dengan dunia sebelum mati milik paman. Inilah permintaan terakhirnya, untuk tidak menyalahi takdir.

Apa yang aku lakukan ini benar?

Menggigit bibir, aku kembali terisak saat gedebuk itu menghilang dan suara rintihan perlahan membaur bersama hujan. Bahkan aku tidak lagi merasakan adanya aliran chakra dari sebelah. Hanya dingin dan gelap. Dia akhirnya pergi menuju kedamaian.

Seandainya saja dulu aku tidak memberitahukannya, apakah tetap akan seperti ini? Apakah paman akan tetap mati dan membuat Kakashi terluka?

Ini takdirnya, tidak ada yang perlu disesali.

Apakah begitu? Setelah yang kukatakan padanya? Tidak. Harusnya paman memiliki hari yang bahagia bersama Kakashi hingga ia bisa melihatnya menjadi hokage. Harusnya paman bisa tertawa saat melihat anak murid Kakashi yang nakal nanti. Harusnya paman bisa bersiap dengan hal ini. Bukannya bunuh diri dengan senang hati dengan alibi untuk kebahagiaan Kakashi.

Tidak, Ini bukan pilihannya. Akulah yang memilihkan takdir ini untuk paman. Untuk mati.

Jika pamar benar ini hanyalah mimpi, maka ini adalah mimpiku. Akulah yang mengatur segalanya disini dan segala hal yang terjadi disini terjadi atas keinginan bawah sadarku. Semua cerita yang tersusun disini beserta takdir tragisnya adalah keinginanku. Kematian ini hanyalah satu dari banyak kehendak egoisku dan bukan tidak mungkin aku menginginkan hal egois lainnya. Kematian Obito, Rin, bahkan perang shinobi keempat. Aku membunuh ribuan orang. Aku membunuh temanku. Aku membunuh paman. Aku menghancurkan Kakashi.

Kami-sama, tidak bisakah aku bangun saja dari mimpi ini?

.........

Tidak tahu kapan tepatnya aku tertidur tapi yang jelas saat aku terbangun hujan masih terus mengguyur desa ini. Tidak ada tanda-tanda terang dari luar yang artinya kemungkinan besar ini masih malam. Sebuah tangan kecil bergetar menyentuh bahuku meminta respon segera. Aku berbalik lambat dan menemukan Kakashi bersimpuh di belakangku. Tubuhnya bergetar hebat, air matanya berlinang. Perlahan dia mengangkat suara, serak dan putus-putus.

"A-ayah..."

Aku tahu.

Aku sangat tahu karena itu kumohon maafkan aku, Kakashi.

Kakashi tidak bisa berbuat banyak. Aku tahu ia sangat terpukul oleh kejadian ini. Pelan-pelan ia menjelaskan situasi padaku meski dengan terbata. Keringat dingin bercucuran dari pelipisnya dan matanya tak bisa focus. Suaranya kembali bergetar saat ia harus mengatakan kenyataan itu. Paman telah tiada. Ia bangkit berdiri dan menuntunku ke kamar paman. Langkahnya kecil-kecil, aku yakin sangat berat baginya untuk melihat itu lagi. Setibanya di ambang pintu, aku membeku. Di tengah ruangan, seperti yang sudah kuduga, Paman meringkuk tanpa nafas.

 Alter Ego [Kakashi X Reader] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang