Bagian 12

4K 618 66
                                    

My Possessif Penjemput Ganteng gagal terbit. Maafkan aku, saudara-saudaraku semuanya, sebangsa dan setanah air. Aku tahu kalian sudah sangat menanti-nantikan buku ini, tapi ada hal yang lebih penting untukku.

Ya, kalian benar.

Minato dan Kushina menikah.

Aku sudah tahu cepat atau lambat mereka pasti menikah. Maksudku, hey. Namanya animenya saja Naruto, bagaimana aku bisa menghayalkan Minato tidak menikah dengan Kushina? Kan jadinya Naruto gagal lahir. Ga jadi Naruto dong namanya. Mungkin ini adalah takdir mutlak yang tidak bisa diubah. Seandainya pun bisa diubah menjadi Minato menikahiku, apa jadinya anaknya? Pasti ambyar sekali saudara-saudara.

Minato dan Kushina sepakat untuk menggelar acara kecil saja untuk pernikahan mereka. Bukan karena tidak mampu, aku yakin mereka berdua sanggup untuk mengadakan acara super besar yang mengundang seluruh warga Konoha tanpa terkecuali. Tapi, tidak. Mereka berdua justru lebih memilih melakukan pernikahan secara tradisional dikelilingi teman-teman terdekat mereka. Pernikahan yang sangat 'fanfic' sekali saudara-saudara.

Di bawah bebungaan sakura yang mekar, di sebuah kuil yang terkenal akan keabadian kisah cintanya, mereka mengucap janji suci. Setia. Damai. Sehidup. Semati.

Semati. Aku mengusap sudut mataku.

Semoga Kami-sama selalu melindungi mereka.

Kakashi menyikut lenganku atasku pelan, "Jangan rusak hari bahagia mereka dengan menangis, dasar cengeng."

Memajukan bibir, Aku menatap kesal pada bocah berambut kelabu di samping. Dia mengenakan kimono birunya dengan rapi. Ah, jangan lupa dengan maskernya yang seperti sudah menjadi bagian dari kulitnya. Beginilah pakaian yang dipakai warga Konoha saat menghadiri pesta pada masa ini. Tidak ada setelan dan gaun, mungkin belum ditemukan.

Aku mengembalikan tatapanku ke arah Minato dan Kushina. Pasangan itu sedang bercanda dengan Mikoto-san yang menggendong seorang anak kecil. Oh, lihat-lihat! Dia melihat kesini! Bentar. Mini Itachi?

"Aku menangis bahagia, tahu." Aku tersenyum pada diriku sendiri, mencoba melupakan sejenak apa yang baru saja kupikirkan. "Mereka serasi sekali."

"Ya, kau benar." Kakashi mengikuti arah pandangku, dia tersenyum kecil. "Kira-kira jika mereka punya anak, laki-laki atau perempuan ya?"

Aku terkekeh. "Pasti Laki-laki."

"Kenapa kau yakin sekali?" Kakashi ikut terkekeh, dia kembali menatapku. "Kuharap perempuan, jadi aku bisa mengencaninya suatu hari nanti."

"HEI!!"

Kakashi tertawa lebar. Saking lebarnya, matanya sampai menyipit membentuk dua kurva di wajah bermaskernya. Aku merengut kesal, tapi tidak lama aku juga ikut tertawa. Kakashi benar, ini hari bahagia mereka, tidak seharusnya aku mengacaukannya.

Kakashi menghela nafas untuk mengakhiri tawanya. Benar-benar tawa yang lepas, tidak ada satupun beban yang memberatinya. Aku tersenyum, lama sekali rasanya aku tidak melihat sisi Kakashi yang satu ini. Akhirnya dia kembali.

Aku berbalik lalu meraih kue mangkuk yang dihidangkan di atas meja yang dari tadi kami belakangi. Memikirkan hal-hal berat membuatku lapar, aku juga perlu bersantai. Sampai pada akhirnya ekor mataku menangkap sesuatu. Di sana, di bawah meja yang tak jauh dari kami berada, sebuah batang-bukan, lebih tipis dan fleksibel, berbulu, berwarna cokelat, bergerak senang ke kanan dan kekiri. Mencuat dari balik kain yang menutupi meja itu. Apa? Ular? Ular tidak berbulu. Ulat bulu? Tapi ulat bulu tidak menari.

Belum selesai aku memakan kue mangkokku, ulat bulu(?) itu masuk kembali ke dalam kain. Kain itu bergerak-gerak, hingga terangkat sedikit. Keluarlah sebuah wajah bulat dengan mata malas yang menghitam. Dan kini aku tahu apa itu.

 Alter Ego [Kakashi X Reader] Where stories live. Discover now