33. Prepare The Wedding

7.6K 703 351
                                    

Tadi malam entah dapat ketabahan dari mana aku sampai bisa setegar itu. Yang aku kesalkan, ketabahan itu tidak bertahan lama. Apalagi ketika aku terbangun dari tidur, rasanya kejadian semalam masih terasa mimpi.

Atau aku memang berharap perpisahan itu tidak pernah terjadi?

Ayolah Zela, berhenti bersikap plin-plan begini. Banyak yang sudah dikorbankann, masak kamu harus kalah dengan hati sendiri.

Tetapi sayangnya, sebanyak apa pun aku mendoktrin pada diri bahwa ini akan baik-baik saja, tetap tangis ini tidak mau berhenti keluar.

Aku semakin menarik kemulan selimut meskipun matahari sudah berdiri gagah di singgasananya. Dan ketika mendengar ketukan pintu kamar dari luar, ingin rasanya  meminta agar tak seorang pun menggangguku hari ini.

"Sayang, masih tidur?"

Aku tidak menyahut, semakin beringsut ke dalam selimut. Menutupi tangisku.

Kurasakan Galen duduk di sisi ranjang, mengelus kepala bulatku yang masih betah berada di bawah selimut. "Sarapan dulu. Aku bawa rawon."

Tawaran yang menarik. Perutku meronta lapar. Tapi tubuhku malas bergerak.

"Udah jam sepuluh, lho. Masak belum bangun, mentang-mentang hari Minggu." Kali ini Galen bertindak lebih tegas. Menarik paksa diriku, membuatku memberenggut sambil menutupi sisa isak pagi ini.

Galen tentu saja terkejut. "Nangis lagi?" tanyanya dengan tersenyum getir. Galen pasti merasa telah menyakiti hatiku terus menerus. Padahal kenyataanya, kami sama-sama menyakiti hati kami masing-masing.

Aku terisak pelan, sambil menatap sayu tangannya yang kini menggenggamku.

"Masalah Kana lagi?"

Nggak salah. Kana juga masih membuat aku merasa tidak enak hati sampai menangisinya. Tapi lebih benar lagi jika dia bertanya perihal Mas Keanu.

"Jangan dibawa stress dong, Zel. Pelan-pelan Kana pasti mau baikan. Mungkin benar yang dikatakan sama temannya itu, kalau Kana butuh waktu. Apalagi ucapan kamu itu, bagi seoarang Kana yang sensitif pasti—"

"Hustt! Jangan bikin aku ngerasa bersalah terus," selaku lirih sambil memilin jemariku.

Galen tersenyum, lalu mengambil posisi di sampingku sambil merangkulku sayang. "Kalian berdua sama-sama salah. Kata-kata yang kalian ucapkan itu menyakiti hati kalian masing-masing. Kalau Kana sadar, seharusnya dia juga merasa bersalah sama kamu. Tapi mungkin, karena Kana udah nganggep kamu segalanya bagi dia, kata-kata kamu itu jadi lebih sensitif di hatinya."

Aku menunduk. Yang diucapkan Galen itu benar. Aku juga sakit hati kok dengan kata-kata Kana, tapi sakitnya nggak sampai sedalam apa yang dirasakan Kana.

"Jadi, Zela, berhenti nyalahin diri kamu terus. Nanti kita cari cara buat kalian bisa ngobrol face to face, biar semuanya clear. Kalian 'kan udah kayak perangko, nggak mungkin masalah gini doang bikin kalian musuhan selamanya."

Aku menatapnya dengan tak yakin. Tapi tetap berharap bahwa yang dikatakan Galen benar. Kami cuma butuh waktu. Yup, sama seperti adaptasi baru di kantor kelak ketika bertemu dengan Mas Keanu. Hmm ...

Galen berseru semangat sambil menepuk pelan kepalaku. "Yuk, sarapan! Anak aku udah kelaparan tuh. Rawon lho ini. Masih hangat banget pas aku bawa ke sini."

Aku mengangguk semangat. Mood laparku langsung meningkat setelah mendengar pencerahan dari sang calon ayah.

Setelah sesi makan dan bersih-bersih selesai —tentu saja dibantu oleh Galen— sekarang kami tengah bersantai menikmati siaran minggu dengan ongkang-ongkang kaki sambil mengemil keripik tempe kesukaan Galen. Badanku tertumpu di paha Galen sambil terus menyuapi dirinya yang kini fokus menonton pertandingan bola.

Azalea✔Where stories live. Discover now