65. Cinta dan Derita

7.7K 731 83
                                    

Semua ketakutanku terjadi, kesadarannya membuatku teriris. Bukan hanya aku, semua orang merasakan itu. Tidak ada yang bisa bersuara ketika melihat ruangan yang sebelumnya tenang, kini berubah mencekam. Tidak ada yang ingin menyahut, membuka suara untuk menenangkan dirinya. Karena semua orang tahu, bahwa kami memang tak bisa berbuat banyak.

Hatiku rasanya teriris ketika melihat Azalea yang meronta di atas tempat tidurnya, menangis deras. Suara pilunya membuat kami tak berani mengangkat wajah.

Tentu dia sangat shock ketika menyadari bahwa perutnya telah rata. Aku rasa semua ibu akan begitu. Hanya aku saja yang belum siap menghadapi ini.

"Pengkhianat!" desisnya melirik kami tajam. "Kalian semua pengkhianat! Kenapa kalian biarin anak aku pergi? Kenapa kalian tega? Kenapa bukan aku aja yang kalian biarkan mati? KENAPA!?"

"Zela kita semua tahu kalau—," aku mencoba menyela.

"Aku masih ingat ketika aku memohon sama kamu untuk nyelamatin anak aku, Keanu! Kenapa kamu nggak lakuin itu?!"

"Nak," ayah mencoba menenangkan. Memeluk Azalea yang tampak rapuh. Dia tersedu di pelukan ayahnya.

"Zela mau anak Zela ayah, Zela mau menamani Keynan. Dia pasti kedinginan, kesepian, ketakutan. Dia nggak bisa dalam tanah. Selama ini dia nyaman di dalam perut Zela. Ayah ... Ayo ambil Keynan.

Zela bahkan belum pernah lihat wajahnya. Apa bener dia laki-laki? Apa bener dia jadi jagoannya, Zela? Tolong bawa Keynan ke sini, Zela belum bisa jalan, kaki Zela nggak kuat. Hikss.. Ayah tolongin Zela."

Semua orang menunduk, menangis dan menahan diri untuk tidak memeluknya. Aku memang pengecut, sudah kubilang ini semua adalah salahku. Jika saja aku tidak pernah memaksa dia untuk memilihku, semua ini tidak akan terjadi. Ya, tentu. Harusnya aku tidak boleh egois. Keegoisanku hanya membawa dia dalam rangkulan sekejap, lalu selanjutnya membuat dia sangat membenciku dan menjauh.

Seharusnya aku sudah menyiapkan ini dari jauh-jauh hari, tapi mana sempat. Pikiranku sebelum hari ini adalah melihat mata itu terbuka. Namun aku kurang memprediksi bahwa pancaran dari mata yang baru membuka itu adalah pancaran sebuah luka yang semakin membuat orang menderu pilu. Dia membawa kesedihan di setiap tatapannya, di setiap mimik wajahnya, di setiap suaranya.

Galen yang sedari tadi ikut merasakan sakitnya kini dibuat kelu ketika Zela menatap ke arahnya.

"Aku tahu hubungan kita udah berakhir, tapi kamu tetep ayahnya! Kenapa kamu biarin anak kita mati?! Apa memang ini yang kamu harapin? Hikss... Aku nggak pernah minta apapun sama kamu, tapi beda dengan anak itu. Dia anak kamu! Ayah mana yang membiarkan anaknya mati?! Hah!!"

Zela salah sasaran. Saat ini, orang yang paling terluka setelah Zela tentunya adalah Galen. Aku tidak cemburu. Begitulah orang tua. Namun jika saja Zela tahu begitu hancurnya Galen kala itu, dia tidak akan memakinya seperti ini.

"Kenapa diam? Kenapa kamu diam? Kenapa kalian semua diam, hah!!!"

"Raja mana Raja! Mana dokter sialan itu! Mana?!!!"

"Ya Allah, tenang Mbak, " Anin dan Sasa mencoba menenangkan. Namun dengan sekuat tenaga Zela mendorong mereka.

"Kalian nggak akan tahu yang aku rasain! Kalian belum pernah hamil! Aku mengandung Keynan berbulan-bulan! Capek! Tapi aku gak ngeluh, karena aku sayang sama dia!"

"Iya mbak, Sasa tahu," lirih Sasa.

"Enggak, kamu gak tahu! Ooo, atau kamu malah senang ya anakku mati!? Ini 'kan yang kamu harapin? Kamu memamg licik, ya, Sa! Harusnya aku nggak percaya kalau ada wanita sebaik kamu! Kamu dan kalian semua itu sama! Busuk!"

"Astaga Mbak, gimana Sasa mau senang? Sasa nggak begitu!"

"Halah! Udah! Kalian semua sama! Apa lagi kamu, Keanu!"

Aku terkesiap, tersenyum getir menatapnya. Sudah kuduga bahwa dari semua orang di sini, akulah yang paling dibencinya.

Beberapa saat Zela menatapku dalam diam. Matanya yang redup tertutup selaput kebencian, namun kulihat masih ada titik cintanya. Namun kekecawaannya lebih mendominasi pancarannya.

"Harusnya aku tahu memang nggak akan ada pria yang bisa nerima aku dengan lapang dada, seperti ucapan manismu," lirihnya. "Pasti kamu senang anak aku mati, ya 'kan? Karena dari awal, jika memang iya cinta, kamu hanya cinta sama aku, tapi nggak bisa mencintai anakku. Aku benar?" tanyanya kali ini cukup tenang.

Aku mencoba membalasnya lebih tenang. "Aku cinta kalian berdua. Aku nggak pernah berharap ini terjadi. Dan aku minta maaf sudah membuat keadaan menjadi seperti ini."

Dia tampak merenung, lalu memalingkan wajahnya. Bahunya tampak bergetar. Memeluk ayahnya. Aku hanya bisa mematung di tempat, mengepal erat tanganku. Menahan diri untuk membiarkan isakanku terlontar. Mama mencoba memberiku kekuatan dengan mengusap bahuku, bergantian aku mengusap tangannya. Mengatakan lewat senyuman tipis bahwa aku baik-baik saja.

Cukup tenang beberapa saat, hanya diiringi dengan isak tangis dari Azalea, dan isakan beberapa wanita yang lain. Sebelum akhirnya Raja dan Kanaya datang bersamaan. Mereka cukup sadar diri untuk tidak langsung menyela, mereka membaca situasi dengan cepat.

Namun Raja adalah dokter kandungannya, mau tidak mau dia harus mendekat.

"Jahitanmu bisa robek jika kamu terlalu emosi. Bisa sibakkan bajumu sebentar, biar aku melihat bekas jahitannya?"

"Tidak perlu. Aku tahu kamu nggak bisa mengembalikan anakku yang udah kamu bunuh. Aku nggak perlu dokter kandungan lagi," ucapnya ketus.

Raja adalah dokter sejati. Ia tidak marah dikatakan seperti itu, malah dia tersenyum walau kutahu itu jenis senyuman pahit.

"Maafkan aku ya, Zela, aku menyesal tidak bisa menyelamatkan bayimu. Tapi sepertinya seseorang sudah memberi tahumu bahwa benturan itu yang menyebabkannya. Aku nggak membela diri, tapi aku tahu kamu punya iman. Dengan begitu, kamu yakin bahwa ada sesuatu yang paling berkuasa untuk mengambil apa yang sebenarnya adalah milik-Nya."

Azalea tampak diam, barangkali mencerna ucapan Raja. Semua orang ikut terlihat tersenyum mendengar ucapan itu. Termasuk diriku, berharap jika Azalea bisa bersikap ikhlas dan mau memaafkanku.

Beberapa saat kemudian, Zela kembali berucap. Namun bukan merespons ucapan Raja. "Saya mau istirahat, kalian bisa keluar."

Walau enggan, beberapa orang mulai melangkah keluar. Sesekali Mama, Galen, Sasa, dan Anin membalikkan tubuhnya untuk melihat Azalea.

Kana salah satu wanita yang dari tadi hanya bergeming. Wajahnya tampak senang sekaligus sedih. Barang kali dia ingin sekali menghambur dan memeluk tubuh sahabatnya. Tapi merasa enggan karena Azalea tampak tak bisa disentuh.

Akhirnya dia hanya meletakkan suatu bingkisan di atas nakas di hadapan Azalea. Kana tersenyum, namun entah Azalea membalasnya atau tidak. Dan ketika Kanaya mengecup dahi Azalea dan mengelus bahunya, aku tau jika Azalea sedang menangis.

Raja menepuk bahuku, mengajakku untuk ikut keluar. Tapi aku ingin tetap bertajtan di posisi ini. Tak apa dia tidak ingin menatapku, tidak apa dia membenciku, asal aku bisa melihat dirinya sadar dengan sehat. Aku yakin ini cuma perkara waktu, sakit hatinya akan berangsur membaik.

Mencoba keburuntungan seperti Kanaya, aku mendekati Azalea. Dan benar saja dia masih menangis. Tentu saja. Aku membungkuk, mensejajarkan wajahku dengan wajahnya. Dia diam, tidak memberontak. Aku mencoba tersenyum manis, dan mengusap pipinya yang basah.

"Aku minta maaf," lirihku. Zela tidak merespons, aku tersenyum pahit. Lalu mencoba untuk mengecup dahinya, namun sayang Zela lebih gesit. Dengan cepat dia mengurung kepalanya dengan selimut tebal.

Aku terkekeh pelan, lalu tetap mengecup dahinya di balik selimut dan berbisik pelan. "Aku cinta kamu, dan maaf jika cintaku membuat kamu menderita."

***

How do you feel?




Sorry pendek, sebelumnya udah panjang2 kok, heee

Kamis, 11 Maret 2021

Azalea✔Where stories live. Discover now