Timing is timing

202 5 1
                                    

Adrian

Aku Adrian, orang-orang biasa memanggilku dengan sebutan Dian. Katanya sih biar gak kepanjangan manggilnya.
Aku anak ke tiga dari empat bersaudara, dan menjadi anak laki-laki satu-satunya dirumah. Semua saudaraku sudah menikah, dengan begitu dirumah hanya tinggal aku, Umi, dan Ayah. Eh ... ada satu lagi. Mondi, kucing oranye dengan bulu lebat dan bertubuh gemuk. Dia yang selalu setia menungguiku dirumh dan menyambutku saat kembali pulang.

Tepat bulan ini usiaku menginjak 31 tahun, dimana orang selalu menganggapnya sebagai usia mapan. Mapan dalam segala hal, pekerjaan, status sosial, dan percintaan. Catet ya percintaan.
Tapi itu tidak berlaku padaku. Ditahun ini malah aku baru saja memulai bisnis, sebuah bisnis yang bisa dikerjakan dirumah dan dimana saja. Aku memulai bisnis ini bersama dengan adik dan kedua sahabatku. Bergerak dibidang apparel.
Kami berempat membagi tugas masing-masing yang memang sudah disepakati bersama.

Edo, bertugas sebagai purchasing dan raw material. Rafa sebagai finish goods, Dela sebagai accounting yang merangkap menjadi customer service dan sales,  sedang aku bertugas mendsain cover dari product yang akan kami pasarkan, namun juga merangkap sebagai content creator dalam pemasaran via online. Ya, kami memasarkan product secara online maupun offline.

Percintaan? Jangan ditanya lagi. Aku tidak terlalu memikirkan dan mempermasalahkan hal itu. Belum lebih tepatnya. Walau seringkali sahabat dan orang tua selalu mempertanyaan persoal yang satu ini. Namun aku hanya menimpalinya dengan santai saja.

Ada sekali waktu, saat aku berkunjung ke rumah Rafa. Tujuannya sih hanya untuk bersilaturahmi saja namun malah jadi sesi wawancara keluarga.

"Mas Dian sendiri terus sih datangnya, kali-kali ajak mbaknya lah." Sapa Risdi, istri Rafa yang datang dengan membawa minuman beserta makanannya.

"Iyah, jangan diumpetin terus nanti bulukan." Timpal Rafa seraya menyerahkan kembali Rosa, putinya kepada Risdi.

"Mbakku kan di bogor, yang satunya itu bukannya kemarin ya kalian baru bertemu. Bagaimana ceritanya aku sembunyikan mereka. Ngaur." Hardikku ngasal. Mengambil gelas yang berisi kopi gula aren lalu menyeruputnya.

"Kamu cari perempuan yang seperti apa sih?" Tanya Rafa tanpa memperdulikan hardikanku sebelumnya. "Teman satu angkatan yang belum menikah cuman kamu saja, malah yang lain sudah ada yang punya dua anak bahkan tiga." Lanjutnya.

Masalahnya bukan pada perempuan yang seperti apanya. Aku tidak pilih-pilih dalam masalah itu. Asalkan perempuannya solehah dan bisa diajak belajar juga kerja sama dalam membangun keluarga madani, faktor yang lain hanya akan menjadi pendukung saja.
Namun masalah terbesar ada pada kesiapan. Sampai saat ini aku masih merasa belum siap untuk menikahi anak orang, ilmuku masih belum sampai sana untuk bisa membimbing istri dan anak-anakku nanti. Aku masih harus berdamai dengan diriku sendiri untuk mempersiapkannya. Menikah bukanlah perkara yang mudah bagiku. Bukan hanya sebatas menikah karena menikah saja. Jauh dari itu dibutuhkan ilmu dan tanggung jawab yang besar.

***

"Dian, Adrian." Suara ketukan dan panggilan itu terdengar bebarengan.

Aku bangkit dari dudukku, dan melangkah menuju pintu untuk membukanya.
Umi berdiri dibalik pintu dengan memegang sebuah amplop coklat, persis amplop yang dulu selalu aku gunakan saat melamar pekerjaan.

"Lihat, dan bacalah baik-baik. Setelah itu kamu kasih tahu Umi dan Ayah tentang jawabannya." Ujarnya menyerahkan amplop itu yang langsung saja aku terima tanpa bertanya.

Aku menutup pintu kamarku kembali setelah menerima amplop itu. Dengan dahi berkerut aku membukanya.
Ada satu buah buku didalamnya, buku bersampul merahmuda dengan cover hati berwarna merah yang bertuliskan, Till to Jannah.
Aku hanya memperhatikan sekilas buku itu tampa berniat untuk langsung membacanya dan kemudian kutaruh disampingku.
Selain sebuah buku. Ada juga amplop lain didalamnya. Amplop surat berwarna putih. Aku menimbang-nimbangnya sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka dan membacanya.

Terkejut bukan main. Amplop itu berisi tentang pengajuan CV taaruf dari seorang akhwat yang aku ketahui adalah anak dari teman Ayah. Aku membaca dan mencerna tiap kalimatnya. Tidak sampai sana. Diapun menyertakan sebuah foto.
Cantik adalah kata pertama yang bisa aku ucapkan. Dia memakai jilbab warna abu dengan motif garis biru yang senada dengan gamis yang ia gunakan. Perawakannya tinggi, bertubuh sedang dan berkulit bersih.

Sesaat aku memperhatikan foto itu sampai akhirnya tersadar kalau aku sedang melakukan hal yang salah. Kembali aku membaca CV-nya, bolak-balik mencari sesuatu hal mungkin terlewat olehku.
Aku melipat dan memasukannya kembali kedalam amplop kemudian pandanganku beralih pada buku yang tadi kuletakkan disampingku. Sebelum memulai membuka dan membaca isinya. Aku membaca cover belakang buku itu yang menjadi sinopsis tentang perihal apa yang ada didalamnya.

Pernikahan adalah sebuah pilar keutuhan masyarakat muslim. Jika ikatan keluarga retak, retak pulalah sendi-sendi sebuah peradaban.

Kubaca setiap makna yang terkandung dalam kalimatnya. Pernikahan memang membutuhkan sebuah ilmu dan tanggung jawab besar. Tidak hanya asal menikah saja namun juga harus dibarengi ilmu untuk mempertahankan dan membawanya sampai akhir. Bukan berarti sampai mati tapi benar-benar sampai akhir. Till to jannah.

TBC

**lanjut lagi di part berikutnya ya. Terimakasih yang sudah membaca.
Tinggalkan komen atau beri bintangnya ya sahabat. :)

IkhlasWhere stories live. Discover now