Kabar gembira yang mengkhawatirkan

84 1 0
                                    

Silla

Aku masih disini. Duduk sendiri sambil sesekali melihat jam yang tengah melingkar ditanganku. 17:15 WIB, sudah satu jam lebih aku menunggunya.
Rencananya hari ini akan diadakan reuni tahunan. Reuni yang selalu rutin diadakan oleh alumni satu angkatan. Namun ini menjadi reuni pertama yang aku hadiri setelah 9 tahun lulus dari SMA. Kenapa baru datang sekarang? Pasti itu yang bakal ditanyakan.
Sebenarnya bukan karena aku sibuk atau tidak mau hadir, tapi harus aku akui kalo alasannya adalah karena malas.
Reuni selalu kentara sekali dengan pembahasan, "kok datang sendiri? Sudah nikah belum? Sudah punya anak berapa? Sekarang kerja dimana? Tinggal dimana? Dan bla ... bla ... bla ...", belum habis dengan obrolan yang membosankan seputar keluarga, sudah dipastikan reuni selalu jadi ajang buat pamer, pamer suami atau pacarlah, pamer anaklah, pamer kendaraanlah, gak sedikit juga yang memamerkan gigi berkawatnya. Dan menurutku itu sangat membosankan.
Kali ini aku memutuskan hadir, karena sahabatku juga menghadirinya, aku rasa hanya dia saja yang cara berpikirnya hampir sama denganku.

Sekali lagi aku mengecek jam, hampir putus asa aku memutuskan untuk pulang saja tepat saat sebuah motor metik putih berhenti dihadapanku.
"Maaf, menunggu lama. Tadi kena macet." Jelas Yumna, sahabat sekaligus orang yang dari dua jam lalu membuatku menunggu.
Dia memberikan sebuah helm dengan warna yang senada dengan motornya. Aku memakainya dan kamipun melesat ketujuan.

Ditempat reuni sudah banyak yang datang. Hanya beberapa orang yang menyapa kedatangan kami, selebihnya asyik mengobrol dengan kelompoknya masing-masing.
Dan benar saja tentang dugaanku tadi. Reuni ini menjadi ajang untuk pamer.

***

"Sepi amat." Ujarku sewaktu masuk kedalam rumah Yumna.

Yumna melemparkan tasnya kesopa, lalu menghambur kedapur dan kembali dengan membawa makanan ringan dan air mineral.

"Orangtuaku ke Bandung, sedang sikembar ... mereka dipesantren." Jelasnya.

Aku hanya mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti.

"Aku mandi dulu ya, bentar." Ujar Yumna yang langsung melangkahkan kakinya ke dalam kamar.

Mataku menelusuri ruang tamunya. Sudah lama sekali aku tidak kesini. Tidak banyak yang berubah, hanya warna catnya saja yang seingatku waktu terakhir kali kesini dindingnya di cat dengan warna putih polos.

"Kamu jadi mengirimkan CV taarufnya?" Tanya Yumna sekembalinya dari kamar. Dia duduk disampingku, mengambil remot tv dan menyalakannya.

Aku mengambil beberapa keping keripik yang tadi dibawanya. "InsyaAllah, ikhtiar."jawabku.

"Lalu.." lanjutnya.

Aku mulai menimbang-menimbang harus mulai bercerita darimana.

Beberapa bulan yang lalu, aku memutuskan untuk mengirimkan CV taaruf kelembaga taaruf online. Tidak, tidak, bukan karena aku kebelet pengen nikah. Tapi aku hanya berikhtiar untuk mencari yang terbaik.
Sebelumnya orang tuakupun memintaku untuk mencoba bertaaruf dengan salahsatu kenalan keluarga, aku menyetujuinya dengan memberikan pengajuan CV untuk diberikan kepada kenalan keluargaku itu namun memang belum ada kabar apapun. Dan sebelum itu tanpa sepengetahuan mereka aku sudah mengikuti taaruf online dan mengirimkan CV.

"Jadi gimana?" Tanya Yumna kembali, menunggu jawabanku.

Aku tersenyum, "iyah begitulah. Hanya sampai bertukar CV dan tanya jawab seputar niat untuk menikah saja." Jawabku dengan mulut yang masih dipenuhi makanan.

Yumna memutarkan tubuhnya menghadapku. "Sudah ada rencana buat nadzor?" Jelas sekali ada nada penasaran terkandung pada suaranya.

Aku hanya menjawab dengan gelengan kepala. Yumna tampak tidak puas dengan jawabanku itu.

"Belum. Hanya baru sebatas itu saja. Lagi pula setelahnya dia tidak ada menghubungiku lagi. Jadi aku ambil kesimpulan kalo dia tidak berniat melanjutkannya." Jelasku, berharap kali ini dia puas dengan jawaban yang didapatnya.

"Semoga saja dapat yang terbaik ya." Ujarnya, "sebenarnya aku juga mengirimkan CV taarufku kepada seorang ikhwan." Lanjutnya malu-malu.

Aku meliriknya, "benarkah, lalu?" Kali ini giliranku yang berantusia.

Yumna tersenyum, "belum ada keputusan apapun. Sebenarnya malu juga sih harus mengajukan taaruf duluan." Lirihnya

"Loh,  kenapa mesti malu? Tahu ceritanya Rosulullah dengan Khadijah kan? Beliau juga yang dahulu mengajukannya. Karena beliau tahu kalo Rosulullah adalah laki-laki yang soleh, jujur, dan baik. Makanya beliau juga berikhtiarkan." Jelasku panjang lebar.

Yumna tersenyum seraya manggut-manggut tanda setuju.

***

*Assalamualaikum,
Maaf. Boleh tidak aku mengajukan pertanyaan?*

Aku membuka membaca pesan itu. Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia mengirimiku pesan.

*Waalaikumsalam,iyah silahkan.*
Balasku singakat.

*Apa kamu masih berniat untuk menikah atau malah sudah ada rencana menikah?
Terakhir obrolan waktu itu kan, kamu bilang sebenarnya kamu masih nyaman juga dengan statusmu yang sekarang ini. Apakah masih sama?*

Sesaat aku mengingat-ingat tentang obrolan terakhir kami.
Memang benar sih waktu pengajuan CV itu aku masih sedikit ragu dan belum terlalu yakin dengan niatku. Aku takut mendapatkan orang yang tidak tepat sampai harus mengalami kegagalan seperti orang-orang terdekatku.

*Iyah masih.*
Balasku kembali singkat.

*Kalo aku ngajak kamu buat nikah, kamu mau gak?
Aku kasih kamu pilihan ya. "Aku pikirkan." Atau "tidak mau." Tanpa harus memberikan alasan.*

Seketika aku terkejut membacanya. Dia adalah orang yang penah bertukar CV taaruf denganku di taaruf online yang secara kebetulan tinggal dikota yang sama. Dan secara kebetulan juga kami satu jamaah disalahsatu kajian rutin yang diadakan dikotaku. Namun kami memang belum pernah bertemu.
Aku menimbang-menimbangnya.

*Aku pilih jawaban pertama.*

Jawabku kemudian setelah beberapa menit mempertimbangkannya. Bismillah, ini ikhtiar buatku.

Aku menunggu balasannya. Lama dia tidak membalas. Ah mungkin sedang shalat karena memang sudah memasuki waktu isya. Pikirku.

*Baik, sebelumnya aku jelaskan siapa aku ya. Sebagai pertimbangan kamu untuk meyakinkan diri.
Aku orang yang biasa saja, pekerjaanku sekarang di freelance terkait kondisi yang sekarang usaha memang lagi gak jalan. Aku tidak memiliki kendaraan mewah seperti kebanyakan orang. Tidak bisa bangun awal karena malamnya yang susah tidur. Jika memang kamu setujupun mungkin aku tidak bisa memberi mahar yang lebih. Penghasilanku dibawah 5juta perbulan. Aku bilang ini sebagai bahan pertimbangan kamu dan keluarga. Silahkan untuk dipertimbangkan/istikharah.*

Balasnya beberapa menit kemudian.
MasyaAllah ... adalah kalimat pertama yang aku ucapkan setelah membaca penjelasannya. Dia menjelaskan dengan apa adanya.

Sampai sana aku tidak membalas pesannya. Karena penuturannya tadi membuatku harus berpikir.
Apakah aku harus mencoba untuk menerimanya atau aku menolaknya.

Malam itu kuhabiskan untuk bercengkrama dengan Penciptaku. Meminta petunjukNya untuk sebuah pilihan yang menurutNya terbaik untukku.



TBC

IkhlasWhere stories live. Discover now