Hari-hari sepenuh hati

58 1 0
                                    

Adrian

"Assalamualaikum." Seru ku memberi salam kepada sang pemilik rumah.
Aku menunggu beberapa saat, tidak ada yang keluar ataupun menjawab salamku.

Ku layangkan pandanganku, menjelajahi rumah bercat biru ini. Rumah bertingkat dengan model minimalis.
Ini rumah om Wahyu, rekan kerja Abi yang sudah seperti keluarga sendiri.

Om Wahyu itu perantau, asalnya dari Palembang. Datang ke Depok untuk urusan pekerjaan yang secara kebetulan menjadi karyawan ditempat Abi kerja. Sampai akhirnya beliau menikah dan menetap disini.

Umi menyuruhku datang kesini untuk mengantarkan barang punya om Wahyu yang tertinggal dirumah. Sekalian silaturahmi, katanya.

Setelah beberapa saat menunggu dan masih belum ada yang membuka pintu. Akhirnya kuputuskan untuk mengetuknya kembali. Tepat saat seseorang datang dari arah belakangku seraya mengucapkan salam.

"Waalaikumsalam." Jawabku sedikit terkejut karena kedatangannya yang tiba-tiba.

Seorang perempuan berdiri di depanku, hijab syar'i warna abu yang dikenakannya membuat dia terlihat anggun.

"Maaf, mau bertemu siapa?" Tanyanya lirih.

"Om wahyu." Jawabku singkat.

"Oh, papah sedang keluar. Kalo mau silahkan tunggu."

"Tidak, terimakasih. Aku hanya mau memberikan ini. Kemarin tertinggal dirumah."

Ia menerima kantong plastik yang aku bawa. Tidak berlama-lama aku pun ijin untuk pamit.

Sekilas aku lihat, wanita itu masih melihatku. Aku pura-pura tak melihat dan memalingkan wajah.
Dia anak om Wahyu. Dulu pernah bertemu sekali sewaktu ada gathering kantornya ayah. Aku sudah lupa bagaimana wajahnya. Yang masih aku tentangnya itu adalah kalo dia anak om Wahyu. Selain dari itu aku tidak ingat dan tidak tahu.

***

"Jadi bagaimana, kamu sudah memutuskan?" Tanya abi.

"InsyaAllah sudah bi. Abi sama umi gak usah khawatir. Dian sudah mencoba memikirkannya. Perkara menikah itu bukan hal yang mudah untuk Dian. Dian juga sudah mencoba berdamai dengan diri dan memikirkannya matang-matang."

"Di coba saja dulu. Ingat umur sudah kepala tiga gitu. Mau nunggu apa lagi?"

Aku diam. Tidak menanggapi apa yang umi katakan.
Beberapa minggu ini aku berpikir keras. Tentang kesiapan dan kesiapan. Kesiapanku untuk mencoba berikhtiar, kesiapanku untuk memulai hal yang sudah seharusnya aku mulai.

Kulayangkan pandanganku keamplop coklat yang tergeletak di meja. Bismillah ini adalah bentuk dari kesiapan dan ikhtiarku.

------------------------------------------------

Silla

Aku kembali kemeja dengan membawa dua gelas cup kopi. Yang satu kopi bertoping coklat punyaku, dan satunya lagi kopi original punya temanku.
Kami mengobrol sambil sesekali nenyeruput kopi. Topik yang kami bicarakanpun termasuk ringan. Seputar korea drama yang sedang on going yang bercerita tentang seorang raja yang terjebak dimasa lalu dan masa depannya.
Selain itu, ini menjadi terapi kecemasanku.

Meli -temanku, duduk disampingku dengan santai. Beberapa kali dia mengingatkanku untuk bersikap santai juga. Aku mencobanya namun tidak membohongi diri sendiri. Aku memang sedang gugup.

"Assalamualaikum, Silla?" Sapa seseorang.

Kontan aku dan Meli melihat kearah suara dan melihat siempunya suara.

Seorang laki-laki berdiri di hadapanku. Badannya tinggi, dan berperawakan sedang. Ia mengenakan hoddy berwarna coklat muda, celana hitam panjang, dan sepatu kets bertali.
Wajahnya tertutup masker, yang memang saat ini kami diwajibkan memakai masker sebagai alat pelindung diri dari virus yang sedang menyebar hampir diseluruh negara.
Rambutnya tidak bisa dibilang panjang tapi masih termasuk gondrong namun tersisir rapih. Mata coklatnya menatapku -menunggu.

"Eh, waalaikumsalam. Iyah?" Jawabku kemudian, setelah aku memperhatikannya. Kukutuk diriku dalam hati. Bisa-bisanya aku terpaku seperti itu didepan seorang laki-laki.

"Silla, kan?"

Aku mengangguk tanda mengiyahkan.

Ia menarik kursi kosong yang ada dihadapnk kemudian mendudukinya. Membuka masker yang ia kenakan kemudian tersenyum.

"Aku Arta." Jelasnya mengenalkan diri, tanpa menyodorkan tangan untuk berjabat.

Aku menganggukkan kepala. Tanpa merasa risih atau aneh saat berkenalan tanpa berjabat tangan. Karena dalam keyakinan kami berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan muhrim (ada hubungan darah) itu tidak diperbolehkan, terkecuali untuk mereka yang sudah menikah.
Sebagian ulama ada yang memperbolehkan juga dalam hal ini asalkan tidak ada syahwat dan aman dari fitnah. Intinya tentang bagaimana kita bisa memposisikan diri dan bersikap bijak saja.

Kami mulai mengobrol, diawali dengan berkenalan. Dan seputar tempat dimana kami berada sekarang.

"Aku mau nyari makan. Kamu mau gak?" Tanya Meli.

Aku menggelengkan kepala begitupun dengan Arta. Meli beranjak dari duduknya kemudian berlalu untuk memesan makanan.
Aku tahu, Meli sengaja seperti itu untuk memberi kami privasi.

"Jadi gimana?" Tanya Arta tiba-tiba.

Aku menatapnya. Bingung. "Apanya yang gimana?"

"Katanya banyak yang mau ditanyain."

"Ah itu." Gumamku. "Kamu yakin dengan ajakan kamu itu? Kita baru kenal loh." Tanyaku kemudian.

"Tentu. Bagiku menikah itu bukan perkara yang bisa diputuskan begitu saja. Aku juga butuh waktu dan sudah mempertimbangkannya. Lagi pula kita sudah lama kenal kan, dari tahun 2019. Jika menurutmu kita belum lama kenal karena kurang intens. Itu karena aku sedang mempertimbangkannya."

Aku mengingat-ingat kembali. Memang sudah satu tahunan kami saling mengenal. Hanya sebatas saling mengenal tanpa saling mengetahui. Dan untuk pertama kalinya hari ini kami bertemu.

"Kamu sudah yakin terhadap aku?" Tanyaku kembali.

Dia tersenyum. "Aku memang belum seratus persen yakin akan kamu. Aku hanya sedang berikhtiar. Kamu seseorang yang tidak pernah menyerah dan mau untuk terus memperbaiki diri. Dan itu yang menjadi pertimbanganku untuk ngajak kamu."

"Tapi bagaimana kalo ternyata aku jauh dari apa yang kamu pikirkan. Dalam hal sifat semisal, aku seseorang yang pemarah dan gak sebaik yang kamu pikirkan."

"Aku yakin saat kamu marah, kamu pasti sudah tahu apa akibat dari kemarahanmu dan apa manfaat dari marah itu." Jawabnya.

Aku terdiam. Memikirkan kembali jawaban demi jawaban yang terlontar dari mulutnya.

Sekarang apa yang harus aku perbuat? Dilihat dari segi ombrolan. Dia seseorang yang bisa diajak bicara dalam topik pembicaraan apapun. Dalam segi sikap, dia begitu santai dan bisa menghormati lawan jenisnya.
Memikirkan hal itu, ada sebuah rasa yang mengganjal didalam hati yang entah harus aku artikan sebagai apa.

IkhlasWhere stories live. Discover now