sebuah pilihan

40 2 0
                                    

Sella

Aku menemani Yumna dikamar. Ini adalah hari dimana ia akan dikhitbah oleh laki-laki yang memang sudah lama ditunggunya. Aku hampir meneteskan air mata karena begitu senang dan takjubnya pada kesabaran Yumna yang akhirnya membuahkan hasil itu. Allah memang tidak akan pernah mengecewakan mahlukNya.

Hari ini Yumna mengenakan gamis berwarna hitam dengan hiasan bordir berwarna emas yang melingkar pada bagian manset tangan dan bagian bawah roknya.
Hijab yang ia gunakanpun senada dengan gamisnya. Hitam yang elegan dengan hiasan warna emas membuatnya menjadi tampak mewah.
Wajahnya berseri, membuatnya tampak semakin cantik.

Terdengar saup-saup suara diluar. Mungkin keluarga yang mau mengkhitbahnya sudah datang.

Aku bangkit dari dudukku, membuka pintu kamar Yumna sedikit dengan harapan bisa melihat calon suami Yumna kelak. Namun sia-sia karena terhalang oleh orangtua Yumna yang memang sedang menyambut kedatangannya.

"Aku jadi deg-degan gini ya." Ujar Yumna.

Aku memalingkan pandanganku pada Yumna dan mendekatinya.
"Bismillah aja." Ujarku menenangkan.

Tok tok tok ...
Seseorang mengetuk pintu kamar Yumna, kemudian membukanya.

"Ayo. Semua sudah menunggu." Ajak ibu Yumna.

Yumna berdiri, dan langsung saja menggandeng tangan ibunya. Aku mengikutinya dari belakang.

Kurasa bukan hanya Yumna saja yang merasa cemas, akupun malah ikut cemas. Dasar aneh. Gerutuku dalam hati.

Yumna duduk diantara Ayah dan Ibunya. Sedang aku ikut duduk di bagian belakang. Perlahan aku mengangkat kepala yang memang sedari tadi terfokus kearah Yumna dan mulai mengamati sekeliling. Melihat siapa saja yang ada diruangan itu.

Deg!
Tepat saat itu -saat aku melihat dan mencoba untuk mengamati. Mataku beradu dengan mata seseorang. Mata yang cukup aku kenal.
Dia, si yang empunya mata itu pun melihatku. Bereaksi terkejut namun tidak memalingkan tatapannya. Untuk beberapa saat mata kami saling beradu. Ada perasaan aneh tak karuan dalam hatiku. Badanku mulai panas tapi lemas. Pandanganku mulai terhalang oleh asap yang entah datang dari mana.

"Silla." Lirihnya memanggilku.

Panggilan itu sontak membuat semua orang ada disana seketika melihatku dengan tatapan bertanya.

Aku masih belum memalingkan wajah ataupun mataku dari dia. Terasa ada sesuatu yang hangat mengalir lewat pipiku.

"Sella, ada apa?" Tanya Yumna tiba-tiba.

Aku tersentak. Yumna menyentuh tanganku. Ini tidak benar, tidak seharusnya aku berada disini. Sedang apa aku disini? Berbagai pertanyaan tiba-tiba menyerangku.

Aku mengalihkan pandanganku kearah seorang perempuan yang aku ketahui sebagai Ibu dari laki-laki yang akan mengkhitbah Yumna.

Pandanganku beralih dari satu orang ke orang yang lain. Lalu kemudian aku tersadar akan hal bodoh yang sedang aku lakukan. Aku beranjak dari dudukku, meminta ijin untuk kebelakang.

Kakiku sudah lemas dan aku tidak tahu apa yang aku rasakan sekarang. Hatiku berkecambuk tak karuan. Aku terdiam dan hanya ingin terdiam. Pikiranku kosong tapi tidak dengan hatiku. Ia malah memerintahkan mata untuk terus mengeluarkan cairan-cairan panas yang tak bisa aku tahan dan berhentikan. Aku menangis dalam diam, tanpa isak maupun emosi.

------------------------------------------------------

Adrian

Aku melangkahkan kakiku dengan berat. Ini keputusan orangtuaku dan aku tidak mau untuk melawannya. Aku pernah menjadi seseorang yang keras kepala dan bergerak sendiri. Kali ini aku harus mengalah. Aku yakin ini yang terbaik. Dan meang harus meyakininya.

Aku berusaha berdamai dengan diri.

"Kamu siap kan?" Tanya Abi sekali lagi sebelum kami memasuki pekarangn rumah Om Wahyu.

"InsyaAllah bi." Lirihku. Aku memandang rumah yang ada dihadapanku. Ada rasa getir yang tak bisa dijelaskan.

Didalam semua orang sudah menunggu. Om Wahyu menyambut kedatangan kami dengan penuh tawa.

Aku terdiam, tak banyak bicara. Hanya tersenyum dan menjawab pertanyaan dengan seperlunya.
Hhatiku belum tenang, aku tak bisa berbohong akan hal itu. Tapi aku sudah disini. Dan tak bisa untuk kembali lagi.

Aku terus menundukkan kepalaku. Berusaha untuk menenangkan -meyakinkan diri sendiri, tepat pada saat dimana aku mencari sebuah keyakinan saat itu aku melihatnya.

Dia sedang melihat tepat kearahku. Dan pandangan kami bertemu. Entah apa yang harus aku perbuat. Apa aku harus menyapa atau membiarkannya. Ada sesuatu yang mengganjal dihatiku. Bergemuruh keras dan meminta untuk keluar.

Dia memandangku, begitupun denganku. Perlahan kulihat matanya mulai berkaca, dan air itu mengalir melewati pipinya. Aku bisa melihatnya dan ia membiarkan air itu terjatuh.

Aku tidak tahu apa yang aku rasakan sekarang. Ada rasa pilu namun hatiku memerintahkan untuk diam.
Aku tahu benar apa yang dia rasakan sekarang. Aku tahu benar.

"Sella." Lirihku memanggil namanya.

Dia masih memandangku saat semua orang memandang kami silih berganti.
Aku merasakan tangan Umi menggenggam tanganku erat, seolah takut aku akan berlari kearah yang salah.
Sella masih memandangku, namun kemudian pandangan itu beralih pada wanita yang ada disampingku, pada Umi.

Pandangannya tak bisa ditebak. Lalu kemudian dia tersentak seraya bangkit dan berlalu kearah dapur.
Mataku mengikutinya.

"Dian ... Adrian." Seru Abi.

Aku tersentak dan mengalihkan pandanganku padanya.

Abi menatapku lekat. Seolah bertanya tentang keyakinanku, sedang Umi masih memegang tanganku erat.
Lagi-lagi aku menundukkan kepala. Pikiranku kacau saat itu juga. Dan pertarungan dengan diri ini tidak membuahkan hasil karena nyatanya aku tidak bisa merasa tenang setelah apa yang barusan terjadi.

"Maaf, bi." Lirihku.

"Ada apa?" Bukannya Abi, umi yang malah ambil peran untuk bertanya.

"Dian minta ijin untuk ke toilet ya Om." Aku mengalihkan pandangan pada Om Wahyu, yang disambutnya dengan senyuman seraya menganggukkan kepala.

Aku melangkahkan kakiku, menjauh dari kumpulan keluarga. Dan mencari keberadaan Sella.

Aku menemukannya. Disana, dibalik pintu keluar belakang. Perlahan aku mendekatinya. Kulihat pundaknya naik turun, aku tahu dia sedang menangis. Menangis tanpa ada isak dan suara. Hatiku tak karuan melihatnya seperti itu.

Tepat saat aku hendak mendekatinya, ia berdiri dan membalikkan badannya menghadapku.

Ia tersentak kemudian memundukkan kepalanya.

"Aku minta maaf." Hanya itu yang bisa aku ucapkan saat ini.

Dia mengangkat kepalanya, kemudian tersenyum.

"Sepenuhnya ini kesalahanku. Tidak seharusnya aku bertindak tanpa sepengetahuan orang tuaku. Aku benar-benar minta maaf. Apa yang harus aku lakukan untuk bisa menebus permintaan maafku."

Dia menghembuskan nafas. "Bukan salahmu. Ini sudah menjadi yang terbaik buat kita. Itu kan yang kamu katakan. Aku ikhlas. Aku hanya masih terkejut. Maaf karena tidak bisa mengendalikan emosi." Jelasnya.

Aku terdiam, melihatnya. Begitupun dengan dia. Aku tak tahu harus berbuat apa, perminta maaf saja tidak cukup untuk membuatnya baik kembali.

"Kita lupakan apa yang pernah jadi ikhtiar kita bersama. Sekarang bukan saatnya kamu untuk berdiam diri disini. Yumna dan keluargamu sudah menunggu. InsyaAllah aku ikhlas dengan segala ketentuanNya."

Setelah mengatakan hal itu, Sella beranjak pergi. Menghampiri kembali kumpulan keluarga.

Aku masih terdiam, memikirkan keputusanku. Kembali mencoba berpikir segala hal baik untuk semuanya. Meyakinkan diri dengan apa yang akan terjadi selanjutnya adalah yang sudah ditentukan olehNya.

"Bismillah." Ucapku lirih, dan kembali kemereka yang sudah menunggu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 27, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

IkhlasWhere stories live. Discover now