sisi lain dari koin

38 1 0
                                    

Silla


"Jadi kalian sudah bertemu?" Tanya Yumna antusias saat kuceritakan tentang pertemuanku dengan Arta beberapa minggu yang lalu.

"Iyah. Dan kemarin dia sempat kerumah untuk bertemu mamah. Dan memang ada hal yang lebih jauh lagi yang harus kami bicarakan."

Sekilas aku lihat mata Yumna berbinar. "Alhamdulillah, semoga ini yang terbaik ya. Aku lihat dia seseorang yang mau maju, dan aku yakin dia orang baik."

Aku menganggukkan kepala tanda setuju. "Bagaimana dengan kamu? Sudah bertemu?" Tanyaku.

"Kami pernah bertemu beberapa minggu lalu. Setelahnya orangtua dia datang kerumah, membicarakan tentang kesiapan dan keputusan anaknya."

"Alhamdulillah. Kalo begitu sudah ke tahap taaruf keluarga ya."

"Belum bisa dibilang begitu. Karena aku dan dia pun belum ada perbincangan apapun. Hanya sebatas antara orangtuanya saja." Jelas Yumna. Ada nada getir terdengar dari suara nya.

"InsyaAllah kalo dia yang terbaik pasti di lancarkan." Hiburku.

Yumna, perempuan yang baik, anggun, dan cerdas. Selama ini dia tidak pernah dekat dengan laki-laki, memang ada seseorang yang dia kagumi tapi hanya sebatas kagum. Tidak lebih dari itu. Jika ada yang mengajaknya untuk menjalin hubungan, dia oasti menolaknya dengan halus atau dia akan menjawabnya dengan, "Kalo mau menunggu saya silahkan. Saya mau menyelesaikan kuliah saya dulu. Setelah saya lulus, silahkan untuk datang kerumah dan bicarakan dengan orangtua saya." Itu yang selalu Yumna katakan tiap kali ada laki-laki yang mencoba mendekatinya.

Berbeda sekali denganku. Aku pertama kali hijrah ditahun 2018. Kalo diibarat bayi, aku itu baru saja mencoba untuk merangkak. Masalalu? Jangan ditanyakan dan memang tidak perlu dibicarakan lagi.

Dan aku yakin. Allah sudah mempersiapkan yang terbaik untuk Yumna.

------------------------------------------------------

Adrian


"Tentu saja. Abi dan umi sudah lama nunggu kamu untuk bilang hal ini." Ujar Abi, ketika aku meminta ijin untuk menikah.

"Minggu kemarin kami k rumah Om Wahyu. Dan kebetulan anaknya juga ada. InsyaAllah dia wanita yang baik dan calon istri yang solehah." Lanjut Abi.

Pernyataan Abi itu membuatku terkejut. Sepertinya ada kesalahpahaman disini. Perempuan yang ingin aku nikahi bukan anaknya Om Wahyu. Bukan perempuan yang sudah mengirimkan pengajuan CV taaruf melalui umi. Bukan Dia, tapi orang lain.
Aku terdiam sesaat. Mencoba untuk memilih kata yang tepat untuk menjelaskannya.

"Abi. Sebelumnya Dian minta maaf. Tapi sepertinya ada kesalahpahaman disini, bi." Ujarku perlahan.

Abi dan umi menatapku lekat, menunggu penjelasanku.

"Aku meminta ijin menikah sama Abi dan Umi, tapi bukan untuk menikahkanku dengan anaknya Om Wahyu. Melainkan dengan perempuan lain."

Kulihat Abi tampak terkejut, begitupun dengan umi. Namun sesaat kemudian Abi bisa mengendalikan kembali keterkejutannya itu.

"Lalu, siapa wanita itu?" Tanyanya dengan nada yang tenang.

Aku menghembuskan nafas -lega, "InsyaAllah dia perempuan yang solehah juga. Dian sudah mengenalnya sejak tahun yang lalu namun memang baru bertemu kemarin. Maaf tanpa sepengetahuan Abi dan umi pun, Dian sudah mengajukan taaruf kepadanya. Dan dia menerimanya." Jelasku.

"Lalu bagaimana dengan anak Om Wahyu?" Tanya umi, yang masih sangat terkejut.

Aku tidak bisa menjawab, dan hanya menundukkan kepala. Kulihat Abi mengelus tangan umi -menenangkannya.

"Baik. Abi dan umi akan mempertimbangkannya. Kamu boleh membawa perempuan itu ke rumah sebagai bahan untuk pertimbangan kami nanti." Jelas Abi.

Aku menganggukkan kepala. Menyanggupi permintaan abi untuk membawa calonku.
Ada secercah harapan muncul, walau aku tidak mau banyak berharap namun memang tidak bisa dipungkiri kalau itu yang aku rasa sekarang. Sampai sini Allah sudah melancarkan prosesnya dan semoga kedepannyapun selalu Ia lancarkan.

***

Hari ini aku mengajaknya kerumah. Mewujudkan permintaan Abi untuk bertemu dengannya terlebih dahulu. Aku tahu dia gugup karena itupun yang aku rasakan sekarang. Aku tidak tahu apa yang akan ditanyakan orangtuaku kepadanya.

"Dari mana?" Tanya umi.

"Margonda, umi." Jawabnya -berusaha terdengar tenang dan santai.

"Kenal Dian dimana?"

"Umi, sebelum nanya itu. Biar Dian kenalkan dahulu. Ini Sella. Wanita yang sudah dian ceritakan kepada Umi dan Abi." Sella mengerutkan dahi, tampak terkejut dengan pernyataanku yang tiba-tiba itu. Bukan hanya Sella, tapi umi juga tampak terkejut.

"Kami kenal melalui taaruf online." Jawabku kemudian.

Kini giliran umi yang mengerutkan dahinya. Ya, aku tahu umi bakal terkejut dengan hal ini. Alih-alih menerima ajakan taaruf dari perempuan solehah yang sudah diketahui jelas bagaimana keluarganya. Aku malah memilih untuk mengikuti taaruf online yang benar-benar nol informasi tentang calon apalagi keluarganya.

Siang itu berlanjut dengan tenang. Abi mengajukan beberapa pertanyaan yang sebenarnya itu lebih ditujukan kepadaku. Umi tidak banyak bicara ia hanya meneliti.
Sella tampak tenang dan mengobrol dengan santai. Memang ada beberapa pertanyaan yang membuat dia berpikir agak lama sebelum menjawab namun dia tetap menjawabnya dengan tenang.

Setelah pertemuan itu. Abi dan umi masih memutuskan untuk mempertimbangkannya.

Untuk saat ini tidak ada yang bisa aku lakukan selain berdoa dan menyerahkannya pada Allah. Aku tidak mau berharap. Apapun yang akan keluar dari lisan orangtuaku itubpasti atas kehendakNya dan aku yakin itu akan menjadi keputusan yang terbaik untuk semuanya.

------------------------------------------------------

Sella

"Alhamdulillah selamat ya sayang." Ujarku, saat mendengar kabar kalau Yumna akan bertunangan dengan laki-laki yang sempat diajaknya bertaaruf itu.

Yumna tampak ceria dan wajahnya berseri. Bagaimana tidak, dia sudah menunggu hampir 4 bulan dan laki-laki itu akhirnya memutuskan untuk menerima pengajuan taaruf dan langsung mengajaknya bertunangan. Ini hadiah atas kesabarannya. Aku ikut senang dengan kabar itu.

"Aku yakin kamupun pasti akan mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik. Percaya saja sama rencananya Allah, dan bersabar."

Aku tersenyum, dan menganggukkan kepala mencoba meyakini hal itu.

IkhlasWhere stories live. Discover now