Part 3: Menghindar

124 37 49
                                    

"Terkadang kita tak akan mengetahui sisi seseorang yang sebenarnya, sebelum ia menunjukkannya. Entah karena kepercayaan, atau bahkan ketidaksukaan."

[ Monokrom Sang Rasa ]

• • •

"Asha berangkat, ya, Ayah, Bunda! Assalamu'alaikum!" ucap Asha tanpa jawaban, membuatnya melakukan helaan napas kasar.

Tak apa, ini hal yang sudah biasa bagi seorang Amira Asha Wiratama.

Masih ingat? Kubilang hidupnya tak sesempurna yang orang kira. Salah satunya dalam hal ini.

Ah, sudahlah, lupakan.

Selepas keluar dari area rumah dan menutup pagarnya yang tinggi, gadis itu lantas berlari kecil, menghampiri abang ojek online yang baru saja datang. Lalu setelah memastikan itu pengemudi yang ia pesan, gadis itu lantas naik ke motor tanpa menunggu lama.

Semilir angin pagi menghembus lembut rambut gadis itu. Di tengah ramainya jalanan kota pagi ini, gadis itu terus saja memikirkan kejadian kemarin. Saran yang temannya katakan itu terus saja terngiang di benaknya. Tapi, entahlah, dia tak tahu bagaimana ia harus menjalankannya.

Mengacuhkan seseorang, apa Asha bisa?

***

Tak butuh waktu lama, sepeda motor dengan pengemudi berjaket hijau itu berhenti di depan gedung SMA Perwira. Gedung yang tentunya sudah ramai karena waktu telah menunjukkan pukul tujuh lebih empat puluh.

"Ini ongkosnya, Pak. Makasih ya," ucap Asha sembari menyodorkan lembar bertuliskan dua puluh ribu rupiah.

"Iya, Neng, sama-sama."

Bersamaan dengan perginya motor ojek tadi, gadis itu membetulkan tali sepatunya yang terasa longgar.

"Hei, Sha!" sapa seseorang.

Suara itu membuat tubuh Asha menegang seketika kala menyadari siapa pemiliknya. Entah memiliki masalah apa tali sepatu itu dengan Asha, tersebab kelakuan tali itu yang tiba-tiba longgar, Asha jadi dihampiri seseorang yang sedang ia hindari.

"Gue harus gimana coba nih. Cara ngehindarnya gimana?" batin gadis itu bimbang.

"Woi! Disapa malah ngelamun. Mikirin paan?" tegur Deris.

Ya, siapa lagi jika bukan pemuda itu?

"Apaan, sih, Ris. Dah ah gue mau masuk," cetus Asha sedikit ragu, lalu memasuki gerbang sekolahnya.

"Dih lo PMS ya," tanya pemuda itu sembari mengikuti langkah kaki Asha.

"Kagak."

"Terus kenapa?" Asha tak menjawab.

Langkah kaki mereka sudah kompak memasuki koridor sekolah, diiringi keheningan yang menyelimuti, karena rasa bingung keduanya.

Asha mulai mempercepat langkahnya, tak mau merasakan kecanggungan lebih lama lagi. Ia sangat malas jika harus berurusan dengan masalah yang sama sekali tak ada pentingnya ini.

"Eh gue belum sempet nanya sama lo tentang kemarin, lo pindah ke belakang ngapain?" tanya Deris.

"Ngindarin kembaran setan," lontar Asha seraya menghentikan langkahnya sekejap sebelum masuk ke kelas begitu saja, meninggalkan pemuda itu terpatung di ambang pintu.

Asha menurunkan tasnya di kursi, menimbulkan suara yang sedikit keras karena rasa kesalnya.

Entah mengapa, rasa kesal itu tiba-tiba saja mengerumuni Asha ketika Deris membuatnya kebingungan harus bersikap seperti apa.

Monokrom Sang Rasa | Hiatus RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang