hukuman

557 20 1
                                    

"Yuan...!"

Teriakan yang nyaring membuatku terlonjak dari tidur,  setengah sadar mengucek mataku. Mengumpulkan kesadaran yang sempat hilang karena mengantuk tadi.

"Kamu memang bandel ya...!" suara itu begitu menggelegar dikupingku, membuat kesadaranku kini terkumpul  sempurna dengan cepat.

Ya ampun...

Bu Sri sudah berdiri tegak di sampingku. Matilah aku sekarang... hah... melihat wajah Bu Sri yang sudah menatapku dengan tatapan garang membuatku yakin kalau kali ini aku tak akan lolos lagi.

"Maaf, Bu...."

Aku menundukan kepala tak sanggup melihat kearahnya yang seakan ingin menelanku hidup-hidup tanpa ampun. Kekesalan tercetak jelas di wajah tuanya saat ini.

"Kamu ini ya... disuruh cuci muka malah tidur di sini! Sekarang bersihkan kamar mandi belakang cepat...!" teriakannya sukses membuatku melongo menatapnya.

"Kamar mandi belakang, Bu?"

Aku mencari kepastian atas apa yang diperintahkan Bu Sri padaku. Mungkin saja aku salah dengar kali ini. Dan aku berharap aku salah dengar atau setidaknya Bu Sri menarik ucapannya kali ini.

"Iya... kenapa? Mau membantah? Atau mau saya tambah lagi hukumannya?" ucapnya lagi. Membuatku tambah merinding.

"Tidak, Bu... tidak... ya, saya akan membersihkannya."

Ya ampun... kamar mandi belakang? Itu tempat yang keramat, kata orang sich begitu... jarang ada siswa yang menggunakan tempat itu karena di sana angker. Kata penjaga sekolah yang dulu, ada siswa yang meninggal di sana bunuh diri setelah di bully temannya.

 Jadi merinding aku, mana dari tadi aku ngerasa ada yang ngawasi lagi. Beberapa kali aku menoleh kebelakang berharap ada malaikat yang menyelamatkan aku kali ini tapi ternyata… kosong.

Sepanjang perjalan ke kamar mandi belakang aku terus saja komat kamit merapalkan doa, apalagi bulu kudukku meremang sekarang dengan sempurna. Entah mengapa aku merasa ada yang mengawasiku terus dari tadi.  

Setiap saat aku melihat sekelilingku dengan waspada. Berharap tak bertemu dengan hal aneh saat ini yang bisa membuatku kabur sebelum tugas selesai. Dan biasa Bu Sri akan memeriksa hasil kerja siswanya. Sungguh metepotkan, dalam hari aku berfikir, apa orang seperti Bu Sri tidak punya rasa takut dalam hidupnya...

Kenapa dia memilih tempat ini sebagai hukumannya? Kenapa tidak push-up, atau lari keliling lapangan. Aku lebih iklas lari daripada harus menyambangi tempat ini.

Kadang aku melihat ke atap... kadang melihat ke belakang. Sejak rumor itu beredar jarang ada siswa yang menggunakan kamar mandi belakang untuk kebutuhan mereka, selain letaknya yang memang agak menjorok ke belelakang dan terpencil dari gedung utama. Dan sepertinya aku beruntung karena kamar mandi ini sepi jadi aku bisa dengan cepat menyelesaikannya.

Meski sepanjang waktu segala macam doa yang kuhapal, sukses keluar dari mulutku dengan belepotan dan tak karuan bunyinya.

Aku mendengar suara langkah kaki di depan kamar mandi. Aku menoleh kebelakang... Sepi, hanya ada ruang kosong di belakangku. Bulu kudukku kembali meremang.

"Siapa di situ?" ucapku dan hanya ada desiran angin yang terasa memenuhi tempat itu.

Sepi... tak ada sahutan, hingga beberapa menit kemudian tetap sepi. Aku memberanikan diri melihat ke luar dan ternyata memang sepi. Bulu kuduku kembali meremang... padahal tinggal sedikit lagi dan semuanya selesai.

Langkah kaki itu terdengar lagi. Kurasa saat ini darahku berhenti mengalir. Udara sekitarku yang semula hangat kini terasa dingin. Tanpa di komando lagi... aku langsung lari terbirit-birit menuju kelas saat kudengar suara di belakangku yang mirip seperti desahan, tak kuhiraukan lagi berapa kali aku tersandung dan nyungsep ke tanah. Yang jelas aku pingin cepet sampai kelas dan terbebas dari suara-suara itu.

"Maaf Pak...." kataku terbata saat memasuki kelas.

Masih dengan nafas yang ngos-ngosan dan baju yang basah karena keringat aku kembali ke bangkuku, sesekali kuseka keringatku dengan tanganku.

"Kenapa lo... berantakan banget...?" Mirna menatapku aneh, seolah sekarang wujudku sudah berubah.

"Ada setan di kamar mandi belakang...." ucapku berbisik sambil sesekali menyeka kembali keringatku.

"Hah... yakin...?" Mirna melongo mendengar ucapanku, selama ini dia tahu aku selalu serius dan dia tahu aku tidak berbohong apalagi melihat keadaanku yang amburadul saat ini.

"Pake ini... jorok banget...." sebuah suara bass mengejutkanku.

Dia mengulurkan sapu tangannya kepadaku, Aku mendongakan kepalaku, menatap wajah tampan dan asing yang baru kulihat hari ini. Tapi sikapnya yang jutek membuatku jadi ilfil... ni guru baru mulutnya kok ndak ada remnya sich... seenaknya aja ngatain aku jorok. Emang aku kambing apa...dasar guru aneh.

"Makasih, tidak usah pak... saya tidak ingin mengotori sapu tangan bapak yang wangi ini dengan keringat saya yang bau." ucapku sambil mengacuhkan uluran tangannya. Malas aku menanggapinya.

Aku membuka tasku dan mengeluarkan handuk kecil dari dalam sana, eits... aku memang beda... keringatku ngalahin kuli, jadi kemana-mana aku selalu sedia handuk kecil. Berasa jadi kuli saja sekarang. Tak kuhiraukan tatapan anehnya saat dengan pdnya aku melap tubuhku di depannya. Nyahok lo sekarang...

"Bapak kenapa liatin kayak gitu, pak?" tanyakku sambil melotot kerahnya.

"Eh... ndak papa...." jawabnya gugup dan mengalihkan pandangannya dariku.

Dia melangkah pergi, kembali ke kursinya. Entah kenapa aku merasa aneh diperhatikan seperti itu. Sepanjang pelajaran aku merasa ada yang memperhatikanku dan saat mata kami bertatapan, aku merasa ada setruman aneh yang menjalar di darahku, aku memalingkan wajahku kearah buku pelajaran, berusaha untuk tidak memperdulikan makhuk tampan dihadapanku yang sedari tadi mencuri pandang kerahku.

Meski sejujurnya melewatkan pemandangan bagus adalah hal yang merugikan, tapi untuk saat ini aku memilih untuk melewatkannya sebelum wajahku benar-benar berubah seperti kepiting rebus melihat senyumannya yang samar itu.

sorryWhere stories live. Discover now