XIV. A Letter

681 93 16
                                    

Surat pertama yang Donghyuck terima dalam hidupnya adalah surat dari sang nenek. Usianya mungkin lima atau enam tahun, memegang krayon berusaha menulis balasan untuk orang yang ia cintai.

Surat terakhir berasal dari sang ayah di hari ulang tahun. Kartu ucapan dan beberapa lembar uang. Donghyuck mengirim teks kepada pria itu bahwa dia bisa berhenti mengirim surat, juga lebih baik memberikan uangnya ke anak perempuan dia dari istri baru.

Setelah itu, mengingat sekarang semua bisa dilakukan secara digital, Donghyuck tidak lagi pernah menerima surat.

Surat Mark terlepa di atas meja nakas kamar; sebuah amplop gumal dan selembar kertas putih diisi tulisan si pengirim.

Donghyuck mengamatinya dari depan lemari, berhenti memakai kaus ketika tidak sengaja menangkap rupa surat tersebut.

Dia membacanya sekali ketika Mark meninggalkan di tengah kelam malam, menangis sendiri di bangku taman. Kedua kali ketika di dalam kamar, tepat baru bangun dari tidur--masih belum percaya atas apa yang terjadi.

Ketiga kali, sekarang.

Dear Donghyuck, begitu baris pertama ditulis oleh tinta pena hitam milik Mark. Bentuknya setengah cursive, penuh ketepatan. 'D' kapital cursive, kemudian huruf tegak mengikuti.

Baris berikutnya menggunakan bahasa Korea, yang mana sedikit lucu.

Mungkin Mark gugup, lalu mengingat bahwa sang mantan kekasih tidak begitu ahli dalam berbahasa Inggris.

'Permintaan maaf ini telah lama tertunda. Bukan lagi kata kosong tanpa penjelasan, yang pantas kau terima sejak lama.'

Pertama kali membaca, Donghyuck mendengus. Muak meski telah lewat satu tahun mereka berpisah. Tiga belas bulan. Dulu dia benci, tapi setelah kejadian di mobil, Donghyuck hanya ingin sebuah closure.

Meski terdengar mustahil, karena tidak pernah ada yang namanya closure.

Dia melempar suratnya ke atas meja nakas, tempat di mana benda tersebut beristirahat selama seminggu terakhir. Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk tenggelam dalam kesedihan, pun penyesalan.

Donghyuck ada perlombaan penting yang harus dimenangkan. Ini kali pertama dia semangat akan suatu hal tanpa rasa takut.

Memenangkan keraguan yang selama ini tertanam di dalam diri.

...

"Aga!" Jaemin berseru keras, melambaikan tangan berulang kali dengan semangat. Dia sengaja libur untuk menonton acara temannya bersama Jeno dan Renjun.

Mark tidak terlihat, dan anehnya Donghyuck merasa lega.

"Tampannya," nada Jaemin mengayun, "pakai jas tiap hari saja, ya? Aku belikan yang banyak nanti."

Dia bergidik, mendorong bahu pria di hadapannya itu secara asal. "Seperti om-om mesum, tahu?"

Renjun tertawa keras, mendapatkan perhatian beberapa pasang mata. "Dia memang mesum. Aku sampai jera berkunjung ke apartemennya."

"Siapa yang suruh datang tanpa mengabari apa pun," Jaemin membela diri, merangkul pundak Jeno yang tidak berhasrat ikut dalam perdebatan tidak penting mereka.

"Hei, hei," Donghyuck bertepuk tangan mengambil perhatian mereka, "ini hariku. Tolong jangan membuat kehebohan lain yang tidak bersangkutan denganku, oke?"

Jaemin memeluk tubuhnya. "Tentu saja. Semangat, ya? Aku yakin kau akan mengagumkan di atas panggung."

...

'Aku minta maaf atas sikapku selama kita menjalin hubungan; ketidak pekaanku, ketidak acuhanku, dan keputusanku untuk mengakhiri hubungan tanpa ada penjelasan.

Bye My FirstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang