00.0 Prologue

18.9K 1.7K 40
                                    


Dia ada di sebuah kota yang tak dikenal, di salah satu persimpangan jalan. Dia akan mencari jiwa yang terluka, terkoyak, tercampakkan. Dia akan mencari jiwa yang menderita, kesepian, hancur. Untuk mereka yang membutuhkannya, mereka akan bertemu dengannya. Dia, sang 'Pembagi Kebahagiaan'.

***

Rumor itu menyebar dari mulut ke mulut, menjadikannya sebuah legenda perkotaan.

"Ria, kamu akan pergi ke persimpangan itu?" tanya Juni. Dua gadis SMA itu berdiri di dekat gerbang sekolah yang sudah sepi. Mereka adalah murid terakhir yang pulang dari sekolah. Langit sudah berwarna jingga pekat. Lewat beberapa menit saja, jalanan akan berubah gelap.

"Iya, aku akan mencobanya," jawab gadis SMA bernama Ria. Ria tersenyum, akan tetapi Juni tahu, jika senyuman itu adalah palsu. Mata anak itu tampak lelah dengan lingkaran hitam besar di bawahnya. Gadis itu mengenakan jaket di hari yang panas sekalipun untuk menyembunyikan memar dan lecet di kulitnya.

"Kamu tahu, 'kan, kalau cerita itu hanya isapan jempol belaka?" Juni menatap mata gadis itu lekat-lekat, mencari apa yang tidak ada di dalam matanya. Harapan.

"Entahlah, aku tak punya harapan lagi." Ria menjawab sambil menyunggingkan senyum dengan bibirnya, tetapi matanya tidak tampak tersenyum sama sekali. Dia sudah mencoba, selama tujuh belas tahun hidupnya, mencari-cari apa yang orang-orang sebut sebagai 'harapan'. Bagi Ria, kata itu hanyalah sebuah mitos.

Juni mengernyitkan dahinya, lalu melangkah maju dan memeluk Ria. "Maaf aku tak bisa membantumu," ucapnya lirih. "Kuharap, kebahagiaanmu menjadi kenyataan."

Sungguh, aku sungguh berharap demikian untukmu, ucap Juni di dalam hatinya.

Melihat sahabatnya datang ke sekolah setiap hari dengan wajah penuh derita membuat hati Juni serasa teriris-iris. Entah apa yang bisa ia lakukan untuk sahabatnya. Hingga sekarang, Ria berjanji untuk berusaha mencari kebahagiaannya sendiri, melalui legenda perkotaan itu. Juni tidak bisa melakukan hal lain selain mendukungnya, meskipun dirinya dipenuhi rasa khawatir.

Ria mendorong Juni pelan dan kembali tersenyum palsu. "Terima kasih, Juni," ucapnya. "Hanya kamu satu-satunya yang aku miliki."

Ria berbalik dan pergi, berjalan ke arah matahari terbenam. Juni menatap punggung sahabatnya dengan pilu. Dia kecewa pada dirinya sendiri, yang tidak bisa melakukan apa pun untuk menolong sahabatnya itu.

Gadis SMA itu berjalan sambil menyentuh pagar perumahan dengan ujung jarinya. Pandangannya kosong. Dia tidak sanggup lagi. Meski Juni selalu berada di sisinya, itu tidak cukup. Setiap harinya ia hanya merasakan siksa dan derita.

Neraka sesungguhnya adalah dunia ini.

Ria terus menyusuri jalan. Akan tetapi, dia tidak mengarah ke persimpangan. Kakinya terus membawanya berjalan tanpa perlu diperintahkan. Kakinya itu melangkah seolah tidak sesuai keinginan Ria.

Otaknya kosong, sekaligus penuh.

Terlalu banyak yang memenuhi kepalanya, hingga dia tak bisa lagi mengetahui apa yang sebenarnya ada di dalam sana. Apakah dia memikirkan dirinya sendiri? Apakah dia memikirkan sekolahnya? Apakah dia memikirkan keluarganya? Ria tidak tahu. Ria tidak ingin tahu.

Akhirnya dia tiba di pinggir jembatan. Langit sudah gelap. Sungai besar di bawahnya berwarna hitam pekat seolah siap menelan jiwa. Di belakang Ria, lalu lintas berlalu-lalang seperti biasanya. Tak ada yang peduli, kalau seorang remaja memutuskan untuk mengakhiri nyawanya di tempat itu saat itu juga.

"Maaf, Juni. Aku terpaksa berbohong," gumamnya sambil berjalan mendekati pembatas. Dia menyentuh pembatas besi yang dingin. Dingin. Dia selalu merasakan dingin ini dalam hidupnya. "Aku tak bisa terus hidup seperti ini. Bagaimana mungkin aku menggantungkan kebahagiaanku pada legenda yang tidak jelas kebenarannya?"

Blitheful BalloonsWhere stories live. Discover now