04.0 Tertawa Bukan Berarti Bahagia

2.3K 635 15
                                    

*Warning: chapter ini mengandung kekerasan*

+++++

Siang itu, lagi-lagi guru tidak hadir di kelas Ayu. Para murid laki-laki menggila. Mereka bermain-main sepuas hati mereka.

Memainkan gitar dan bernyanyi sekeras mungkin, bermain-main dengan berpura-pura menaiki bus, melempar-lempar tissue yang dibasahkan, dan lainnya.

"Hei, Ayu, ayo bertaruh!" ujar salah satu murid laki-laki yang di belakangnya diikuti beberapa siswa. "Kalau kamu bisa bertahan tidak tertawa selama satu menit, aku bakal traktir kamu bakso Mang Udin. Kalau kamu kalah, kamu yang traktir aku."

"Oke!" jawab Ayu sambil menyeruput jus jeruknya. Ayu memutar badannya hingga memunggungi Sonya, lalu di belakang Ayu, Sonya ikut tertarik dan menyaksikan temannya itu.

Salah satu teman siswa lelaki itu menghitung, "Satu, dua, tiga, mulai!"

Teman Ayu itu segera membuat wajah konyol, dan Ayu pun langsung menyemburkan jus yang ada di dalam mulutnya, tepat mengenai muka temannya itu. Ayu tertawa terbahak-bahak, begitu pula dengan semua teman yang ada di sekitar mereka. Sonya pun turut tertawa.

"Ayu!" teriak murid lelaki itu sambil mencari-cari lap untuk wajahnya.

"Maaf, maaf!" ucap Ayu sambil tak bisa berhenti tertawa. "Ini nih, aku kasih sepuluh ribu buat baksomu!"

Ayu menoleh, menatap sahabatnya sedang tertawa terpingkal-pingkal, dan Ayu pun merasa senang melihat wajah Sonya yang seperti itu.

Ketika bel pulang berdering, semua pun berhamburan pulang.

"Sonya, hari ini menyenangkan, ya!" ujar Ayu ketika dia sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.

"Iya," gumam Sonya. Perlahan, senyuman lebarnya berkurang menjadi senyuman yang sangat kecil. "Rasanya jadi tidak mau pulang."

"Kalau begitu, mau ikut denganku berjalan-jalan sebentar?" ajak Ayu.

Sonya menggendong tasnya, lalu menggeleng. "Ibuku pasti marah besar jika aku pulang terlalu sore."

#

"Aku pulang, Ma."

Tidak ada jawaban.

Sonya tidak ambil pusing dan segera melepas sepatunya. Dia meletakkan sepatunya di atas rak sepatunya yang sudah usang.

Semua barang di rumahnya sudah usang. Keluarga Sonya terlalu miskin untuk membeli perabotan baru, maupun pindah ke rumah yang lebih besar.

Rumah Sonya sangatlah kecil. Hanya memiliki ruangan dapur, satu kamar mandi, satu kamar tidur, dan ruang tengah. Rumah ini, tidak bisa disebut rumah. Karena sebenarnya tempat tinggal Sonya adalah sebuah kos-kosan. Dia dan orangtuanya tinggal di sebuah kos-kosan bobrok.

Sonya berjalan ke kamarnya. Kamar itu diberikan tirai yang memisahkan seperempat dari ruangan tersebut untuk Sonya memiliki privasi tersendiri.

Ibunya sedang duduk di kasur dan nampak sedang berkirim pesan melalui smartphone-nya. Kelihatannya, ayahnya tidak ada di rumah. Wanita itu memiliki rambut cokelat-pirang yang mencolok sepanjang dadanya. Dandanannya pun sangat tebal. Dia mengenakan baju tidur berupa gaun pendek yang sangat tipis berwarna hitam.

"Ma, ada makan siang?" tanya Sonya.

"Periksa saja sendiri," ucap ibu Sonya dengan ketus. Sonya tidak menjawab dan segera berbalik dan berjalan ke dapur. Dia membuka kulkas, dan tidak menemukan apa-apa di sana. Sonya berbalik dan hendak kembali ke kamarnya, tapi tahu-tahu saja ibunya sudah berdiri di depan pintu dapur, menatapnya. "Teman Mama mau datang kemari, kamu keluar saja sampai jam 6 nanti. Ini uangnya."

Blitheful BalloonsWhere stories live. Discover now