14). Zenya's Plan

152 69 10
                                    

Alvaro membuka botol kecil berisi cairan alkohol untuk mensterilkan luka sebelum menuangkannya pada kapas kecil, lalu mengoleskannya ke sudut bibir Afin yang refleks meringis kesakitan saat cairan itu bereaksi pada lukanya.

"Cemen banget," ejek Alvaro, jarak wajahnya sangat dekat dengan wajah Afin sementara kepalanya menunduk untuk lebih berhati-hati mengoleskan cairan itu.

"Ini, kan, gara-gara lo," tuduh Afin tidak terima, disusul desisan sebal Alvaro.

"Diem, deh! Gue, kan, lagi bersihin lukanya," omel Alvaro sambil menyentuh dagu Afin untuk diarahkan lebih dekat ke dirinya. "Gue udah ekstra pelan-pelan, nih. Ini harus dibersihkan dengan benar biar nggak ada kuman yang tertinggal."

Alvaro termasuk pribadi yang perfeksionis, maka tidak heran, penanganannya tidak mungkin sesederhana seperti orang lain yang hanya sekadar mengoleskan obat luka, apalagi tanpa menggunakan alkohol sebelumnya. Cowok itu tidak henti-hentinya menekan kapas yang sudah dibasahi alkohol pada sudut bibir Afin dengan saksama, tidak lupa meniup bagian luka itu dengan tingkat kehati-hatian yang layak diacungi jempol.

Sebenarnya tindakannya begini sempat membuat bulu kuduk Afin meremang, tetapi cowok itu berusaha bersabar meski dia tidak tahan untuk tidak merotasi bola matanya.

Sentuhan terakhir adalah merekatkan  plester pada luka. Kesabaran Afin telah habis ketika Alvaro sedang mengukur besar lukanya dengan plester di tangannya.

"Langsung ditempel aja kenapa, sih?" protes Afin pada akhirnya, mendelik pada Alvaro yang masih saja mempertimbangkan apakah dia perlu memotong plester supaya ukurannya bisa pas dengan luka kecil itu.

"Ini plesternya besar banget, Fin! Pasti jelek banget tempel di bibir lo."

Afin memutar bola matanya. "Nggak usah aja kalo gitu. Lagian lukanya juga udah kering."

"Ta-tapi...."

"Al," tegur Afin kesal. "Gue udah sembuh. Oke?"

Alvaro manggut-manggut, lalu membereskan semua obat yang sempat tercecer kembali ke tempatnya. "Oya, soal Freya. Lo bener-bener kencan sama dia, ya?"

"Kalo iya, kenapa? Trus kalo nggak, kenapa?"

"Gue nggak boleh nanya, ya?"

"Ini nggak seperti sifat lo, Al. Gue udah kenal lo lama kalo perlu gue ingatkan. Nggak biasanya lo peduli sama hal yang nggak ada hubungannya sama lo."

"Oke. Gue jujur. Soalnya gue punya firasat yang nggak baik sejak insiden terbongkarnya berita pertunangan sama kejadian waktu di ruang siaran itu, termasuk kejadian di kelas tadi. Ini ada hubungannya dengan Zenya, kalo lo paham maksud gue."

"Zenya?"

Alvaro mengangguk. "Lo nggak curiga sama dia? Seperti yang Renata peringatkan soal kode etik jurnalistik, dia seharusnya nggak ceroboh waktu menggali informasi ke Freya. Gue punya firasat kalo dia memang sengaja lakuin itu untuk tujuan informasi lain. Juga, kecurigaan gue bertambah karena dia nggak lakuin apa pun sewaktu Renata mengalahkan dia. Lo tau sendirilah sifat Zenya kayak gimana. Keluarga Cassimira nggak mungkin membiarkan anak emasnya diperlakukan kayak gitu, apalagi nggak menyebarkan gosip lain demi keuntungan."

Afin terdiam karena sedang mempertimbangkan apa yang dikatakan Alvaro. Zenya Cassimira juga berlatarbelakang konglomerat yang populer dalam bidang media dan hiburan. Tidak hanya memiliki studio stasiun televisi, mereka juga menaungi perusahaan majalah terkenal bernamakan Cassie. Maka tidak heran, kebanyakan semua gosip maupun berita hangat berasal dari keluarga Cassimira.

"Lo bener," kata Afin pada akhirnya. "Jadi, lo rencanain apa?"

"Gue yakin Zenya udah lama ngincar kita untuk kebutuhan siarannya. Dia hanya lagi menunggu waktu yang tepat untuk membongkar semuanya. Makanya, gue nanyain soal Freya ke lo. Kalo lo memang hanya pura-pura pacaran sama dia, gue saranin lo mesti hati-hati terutama ingatkan Freya supaya nggak mengulangi kesalahan yang sama. Zenya pasti juga menargetkan dia supaya bisa memancing kita."

Meteor in Me [END]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant