CH. 21

2.1K 74 8
                                    

Tak perlu berbasa-basi agar diterima oleh orang lain karena Delisha tahu takkan ada yang menyukai dirinya.

Tubuhnya masih merasa gemetaran. Setelah berperang hebat mencekik bayi ini hingga mati lemas atau membiarkan hidup. Selalu saja ada yang menghalanginya ketika ingin mencekik bayi merah itu, akhirnya Delisha pasrah pada nasibnya.

Mereka pergi ke rumah Nenek Ayden.

Nenek Ayden baik, lembut, layaknya Oma. Sekarang Delisha seperti tak mau lagi mengenal Oma karena terlalu malu. Wanita hebat itu pasti kecewa berat saat tahu dirinya seperti ini, Delisha cucu kesayangan bisa punya anak di usia semuda ini.

Delisha baru selesai membersihkan diri karena Nenek Ayden tahu gadis itu penuh dengan darah.

Nenek Ayden langsung mengurusi bayi merah dan menyuruh Ayden beli susu untuk bayi baru lahir.

Hanya memakai kaos panjang sampai menutupi pahanya dan celana short sebatas paha. Baju itu diberikan Nenek Ayden. Delisha benar-benar merasakan apa itu rumah. Namun, sadar diri ini rumah orang.

Delisha mendekati bayinya yang sedang tertidur dan sudah dimandikan dibungkus dengan nyaman dengan banyak kain berlapis.
Nenek Ayden masih banyak menyimpan pakaian bayi dan semua pernak-pernik bayi.

"Ini pakai korset biar perutnya kecil lagi," perintah Nenek Ayden.

Delisha mengambil korset warna hitam tersebut dan kembali ke kamar untuk memakai korset itu.

Ia jadi teringat saat tiba di rumah Nenek Ayden, nenek-nenek itu histeris karena melihat kedua remaja membawa bayi.

💸💸💸💸💸

Ayden memencet bell rumah neneknya. Rumah neneknya terlihat begitu luas dengan pagar bercat putih, tembok cat putih tulang dan kusen-kusen kayu yang banyak. Tipikal rumah jaman dahulu.

Tubuh Delisha masih gemetaran dan takut jika Nenek Ayden mengusir mereka, tak tahu lagi Delisha harus bagaimana.

Berkali-kali ingin mencekik bayi ini agar mati dan dia tinggal membuangnya, tapi saat Delisha melihat wajah bayi tersebut perasaannya membuncah yang tak dapat dilukiskan yang berakhir membuat Delisha mengelus-elus pipinya yang begitu lembut. Anaknya! Dia punya anak.

Masih menunduk melihat bayi merah itu, dia belum mati.

Terkadang Delisha berharap bayi ini mati tanpa dia menyentuhnya dengan begitu membuatnya tak terlalu merasa bersalah, tapi bayi ini begitu kuat.

Padahal bayi merah begitu rentan terhadap udara langsung seperti ini. Bahkan banyak baru lahir harus masuk inkubator, tapi bayinya tak ada pengobatan apa-apa bahkan ia yang menggunting sendiri tali pusat mereka.

Saat engsel pintu itu bergerak Delisha melihat seorang wanita paruh baya yang masih cantik, segar, dan terlihat sebagai orang berwibawa.

"Ayden!" tegur Nenek Ayden shock.

"Nenek..."

Mata wanita tua itu langsung menelisik Delisha dari atas sampai bawah dan sepertinya sudah tahu segalanya.

"Nenek tolong urus bayi ini, kami masih baru ngurus anak, biar kami belajar," pinta Ayden.

"Anak siapa? Kalian jumpa di mana? Maksudnya apa ini?" desak wanita tua ini karena masih belum percaya dengan penglihatannya.

Dua remaja dengan penampilan awut-awutan dan sekarang ikut mengendong anak bayi yang begitu merah.

"Ini anakmu, Ayden?" tebak wanita itu. Ayden mengangguk.

Wanita tua itu mengepalkan tangan siap menampar sang cucu kenapa bisa seperti ini? Masa depan anak ini masih begitu panjang, bukan mengurus anak.

"Kenapa bisa?" Ya, dia tahu tidak akan habis pertanyaan soal ini. Tapi! Tapi! Kenapa bisa?

DELISHA (END+LENGKAP) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang