PESONA

4.4K 508 36
                                    

Kanaya,

Tubuhku rasanya lemas sekali, akhirnya aku tidak kuat lagi. Demam ku tidak kunjung turun. Mas Barra membawaku kerumah sakit untuk berobat. Aku bahkan terlalu lemas untuk berjalan sendiri, mas Barra menggendongku ke mobil. Kami akhirnya meminjam supir mami untuk mengantarkan.

Sekarang aku sedang berada di poli umum sebuah rumah sakit. Mas Barra setia memeluk dan mengusap lembut kepalaku.

"dingin ga sayang?" tanyanya seraya membetulkan posisi jaket yang ku pakai. Aku mengangguk lemah.

"sabar ya, sebentar lagi giliran kamu" mas Barra mengusap – usap bahuku. Lalu aku mendengar nama ku dipanggil kedalam ruangan.

Dokter memeriksa keadaanku, menekan ulu hatiku, dan aku merintih kesakitan.

"ibu suka terlambat makan ya?" aku mengangguk.

"Ini lambung ibu sepertinya ada luka, apalagi ibu disertai muntah – muntah. Dan tenggorokan ibu memang sedikit memerah. Panasnya susah turun ya? Baiknya ibu nanti di transfer ke ruang UGD dulu, nanti saya kasih instruksi untuk infus penurun panas, cairan dan obat lambungnya ya, habis itu boleh pulang istirahat 3 hari dirumah, makan teratur dan minum obatnya. Oke?"

Aku mengangguk patuh, lalu mas Barra membawa ku ke UGD dengan kursi roda, disana aku direbahkan dan di pasangkan infus. Kantung pertama adalah cairan paracetamol untuk penurun panas, lalu kantung kedua adalah cairan NaCl, bersamaan dengan infus cairan NaCl itu aku disuntikan beberapa jenis obat untuk lambung dan peradangan ku.

Mas Barra setia menunggu disampingku, sesekali tangannya mengusap keningku yang mulai berkeringat. Panasku mulai turun. Nyeri di lambungku juga mulai berangsur berkurang.

"alhamdulillah udah turun panasnya, kamu kenapa bisa telat makan sih sayang?"

Aku tidak menjawab, malah memiringkan tubuhku beringsut kepadanya. Dia pun tampaknya paham, dia memelukku dari samping.

"ini sakit kangen kamu tauk" rungutku. Mas Barra tertawa mendengarnya.

"iya nanti sampai rumah mas suapin ya?" ucapnya sambil mengecup pipiku gemas.

Cairan ini akan habis kurang lebih 2 jam lamanya, mas Barra tidak mungkin meninggalkan ku yang terbaring seperti ini sendirian di rumah sakit. Dia beberapa kali menerima panggilan telpon, dan menjawab pesan – pesan masuk.

"iya saya gak bisa kesana sekarang kalau ada yang urgent tolong kasih Ale atau Adrian dulu, saya masih di rumah sakit. Istri saya sakit"

Dia lalu mengakhiri panggilan teleponnya, dan kembali menatapku, dia melipat kedua tangannya dipinggir tempat tidur, dan meletakan dagunya diatas lipatan tangannya.

"jangan kayak gini dong sayang... mas sedih" ucapnya dengan wajah memelas.

"sedih kenapa?"

"nanti yang cium – cium mas tiap pagi siapa kalau kamu lemes gini?" ucapnya, aku pun tertawa pelan, kepalaku masih lumayan pusing.

"ya gantian dong aku yang di cium – cium dulu" dia menggeleng.

"kok gak mau?"

"soalnya, mas gak bisa kalo cuma kecup – kecup aja sama kamu" seringainya nakal.

Aku mencubit lengannya kesal, istri lagi sakit malah di bercandain.

Akhirnya aku selesai di infus, mas Barra menyelesaikan administrasi dan mengambil obat untuk dibawa pulang. Lalu dia mendudukan ku di kursi roda dan mendorongnya sampai ke lobby.

Sepanjang perjalanan pulang, aku menyandarkan kepalaku di pundak mas Barra. Tempat ternyamanku.

"nanti sampai rumah langsung makan ya? Inah udah mas minta masakin bubur"

Satu Bulan Untuk SelamanyaWhere stories live. Discover now