MENGAMBIL HATI KANAYA (2)

6.1K 657 22
                                    


Kanaya,

Aku terbangun, dengan posisi memeluk mas Barra erat, semalam aku antara sadar dan tidak merintih kesakitan, dan mas Barra menuntunku untuk meminum obat. Aku kena batunya, semua kata – kata mas Barra terbukti, mulai dari maag ku yang sakit, dan di ganggu pria mabuk karena pakaian sexy ku.

Mas Barra masih tampak pulas, aku mengusap lembut wajahnya "mas bangun, sholat dulu" mas Barra hanya menggumam. Aku tersenyum melihatnya seperti itu, bayi besarku ini memang sulit sekali di bangunkan.

"mas.. nanti kehabisan sholat subuh, ayo bangun" aku menepuk pipinya perlahan, dia akhirnya membuka mata nya perlahan. Matanya mengerjap, menatapku dan tersenyum

"pagi sayang" sapanya padaku, aku hanya tersenyum padanya. Rasanya masih canggung untuk kembali memanggilnya dengan sebutan – sebutan sayang seperti itu. Apalagi kemarin dia mencium bibirku dengan sangat lembut, aku rasanya campur aduk, senang, ingin, kesal, marah entahlah, akhirnya aku hanya diam membiarkannya saja.

Selesai kami menunaikan sholat subuh, aku membuatkannya segelas kopi panas, dia sudah duduk menikmati sunrise di pinggir kolam renang. Aku menghampirinya dan mengangsurkan gelas padanya.

"nanti kalau punya anak perempuan kasih nama jingga bagus kali ya yang?"

Aku tiba – tiba menelan ludah mendengar kata anak darinya, ya aku tahu mas Barra sekarang rutin mengkonsumsi suplementnya, dia semakin rajin berolah raga dan pola makan sehat. Tapi sekarang aku, aku yang tidak yakin ini adalah saat yang tepat memiliki anak. Bagaimana anak bisa hadir, ditengah rumah tangga yang kacau seperti ini?

"jingga ya.." jawabku singkat, aku tidak berani mengungkapkan isi hatiku tentang anak padanya saat ini.

"atau Khansa artinya wanita yang baik, kalau anak cowo namanya Naufal artinya dermawan" ... "menurut kamu gimana?" mas Barra matanya tampak berbinar – binar membahas nama calon anak – anaknya, hatiku rasanya perih melihatnya, dia tidak pernah se excited ini membahas soal anak.

"bagus mas" aku hanya menjawab singkat. Mas Barra masih tampak berseri – seri, dia menyesap kopi nya "kopi buatan kamu emang selalu paling pas Nay" ucapnya sambil tersenyum padaku.

****

Kami sedang menikmati sarapan di cafetaria villa ini, aku sengaja meninggalkan ponsel mas Barra didalam kamar. Tadi dia sempat menanyakan keberadaan ponselnya, dan aku bilang, tertinggal di meja nakas. Ketika dia hendak beranjak ke kamar untuk mengambil, aku turut bangkit.

"mas cuma ambil sebentar"

"aku gak mau disini sendirian, aku ikut aja" jawabku, dan dia akhirnya mengurungkan niatnya dan kembali duduk.

"gak ada yang urgent kan, sampai harus langsung di ambil?" tanyaku sambil menatap sejurus padanya, dia tampak menghela napas lelah.

"aku tahu, kenapa mas mau ambil, takut dia hubungin mas kan? Gimana dia mau lepas dari kamu, kalau kamu ladenin gitu terus? Aku yakin dia gak semenakutkan itu, asal mas benar – benar tegas. Kalau kayak gini, namanya mas ngikutin alur permainan dia. Dan aku gak mau terlibat didalamnya" ucapku ketus.

"bukan Nay bukan gitu" mas Barra meletakan kembali sendok dan garpunya.

"kalau bukan gitu terus apa? kamu plin – plan, tapi aku gak boleh ngajuin permintaan juga sama kamu, mau kamu apa mas? Aku gak bisa nungguin kamu yang kayak gini" aku pun ikut meletakan kembali sendok dan garpuku, nafsu makan ku lenyap.

Kami akhirnya hening, tidak ada yang meneruskan sarapan kami. Aku bangkit dari kursiku, mas Barra menatapku heran "mau kemana?" tanyanya padaku.

"aku udah selesai sarapan" aku berjalan meninggalkannya, aku mendengar suara kursi di geser juga, dia mengikuti langkahku.

Satu Bulan Untuk SelamanyaWhere stories live. Discover now