PASANG SURUT

6.5K 652 30
                                    

Kanaya,

Aku tidak tahu jam berapa semalam aku ketiduran, seingatku terakhir aku sedang diminta mas Barra untuk menemaninya menonton TV. Tahu – tahu aku sudah berada di atas tempat tidurku. Seperti sudah otomatis, aku selalu terbangun jam 4.30 pagi. Karena memang biasanya jam segini aku akan bangun, sholat subuh dan menyiapkan sarapan untuk mas Barra. Mas Barra sering coba ku bangunkan sholat subuh, tapi seringnya dia tidak berhasil ku bangunkan.

Aku terduduk di tempat tidur, masih menyesuaikan pandanganku. Diluar masih sangat gelap, adzan subuh baru berkumandang. Aku melihat ada yang tidur di sofa, dengan posisi kaki tertekuk. Mas Barra itu tinggi nya sekitar 180cm, sofa seperti itu tentu menyiksa tubuhnya. Kenapa dia gak tidur dikamar sebelah? Walau kasurnya kecil, paling tidak dia gak harus terlipat begitu.

Aku berjalan menghampirinya, ku tepuk – tepuk pundaknya pelan. Aku tahu cara seperti ini gak pernah mempan buat membangunkan seorang Barra. Biasanya dia memang selalu ku bangunkan dengan ku kecupi bertubi – tubi wajahnya. Tapi masa iya, sekarang aku bangunkan dengan cara seperti itu? Yang benar aja!

"mas..mas...bangun adzan.." aku mengguncang bahunya sedikit kencang. Tidak bergerak juga, aku mendengus kesal.

"mas..." aku mengeraskan suaraku, dan diapun terlonjak kaget. Tampak mengurut keningnya, aku tahu bangun seperti itu rasanya pusing sekali.

"pelan – pelan dong Nay..." dia tampak kesal, sambil mengusap wajahnya kasar.

"ya maaf, habisan aku udah bangunin mas dari tadi, kamu gak bangun – bangun juga" jawabku, sambil menyodorkan air putih yang ada dikamarku. Dia menyambutnya dan meminumnya.

"ayo wudhu sholat" ajakku, dia menurut dan bangkit dari sofa. Berjalan gontai menuju kamar mandi. Bahkan sudah lama sekali, sejak terakhir kali kami sholat berjamaah seperti ini. setelah selesai sholat, mas Barra memutar duduknya ke arahku, dan mengulurkan tangannya padaku. Mau tidak mau, aku harus mencium tangannya, hal yang paling ku hindari belakangan ini.

Bagiku, dari segala bentuk kemesraan antara suami dan istri, yang memegang kedudukan tertinggi adalah, ketika kita mencium punggung tangan suami dengan takdzim. Kita melakukan ritual yang lazim disebut 'salim' itu hanya disaat – saat yang sangat sakral, seperti selesai sholat seperti ini, setelah akad nikah, berpamitan ketika hendak pergi, atau ketika pertama kali bertemu lagi setelah terpisah.

Dan aku sedang, sangat – sangat menghindari bentuk ke eratan suami istri seperti ini.

Mas Barra mengecup keningku dengan penuh perasaan, bahkan dia menahan kepalaku dengan kedua tangannya. Setelah mencium keningku, dia mencium puncak kepalaku. Lalu dia membaca kan sebait doa, ini pertama kalinya terjadi sepanjang pernikahan kami. Well, dia pernah membacakannya satu kali, dulu selepas kami akad nikah.

Allaahumma innii as-aluka khayraha wa khayra maa jabaltahaa 'alaihi wa a'uudzu bika min syarrihaa wa min syarri maa jabaltahaa 'alaihi

Aku sampai tertegun dibuatnya, dia menatap ku dengan senyuman, lalu mengusap lembut pipiku.

Akhirnya aku merapihkan alat – alat sholatku. Bergegas turun untuk menyiapkan sarapan. Entahlah, setelah membuatkannya makan malam, pagi ini aku seperti reflek memasak untuk jumlah 2 orang lagi. Aku mengeluarkan bahan – bahan, dan membuat nasi goreng sosis, dengan topping telur mata sapi, dan sedikit acar timun dan wortel.

Selesai menyiapkan sarapan, aku kembali ke kamar, aku berganti pakaian olah raga. Aku ingin berlari pagi, aku bosan terkurung seperti ini. sebenarnya aku ingin mencoba sanggar zumba yang ada di dekat sini, tapi mobil hanya satu, dan aku malas naik taxi, malah jadi mahal biaya nya. Tidak mungkin kan, minta antar mas Barra.

Satu Bulan Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang