Gift

1.5K 159 30
                                    

Astaga, bolehkah Wonwoo menangis saat ini? Sungguh. Apakah cintanya akan benar-benar kandas bahkan sebelum ia ungkapkan? Entahlah. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

.

.

.

《 Gift 》

Wonwoo tak pernah menyangka jika ia akan mengalami hal ini. Tak terpikirkan oleh Wonwoo bahwa selain kematian orang tuanya, ia akan merasakan sakit yang luar biasa. Katakan Wonwoo berlebihan, namun hatinya benar-benar hancur saat ini. Bayangkan saja, siapa yang akan kuat jika harus melihat sosok yang ia cintai bersanding dengan orang lain. Dan yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa mereka memang sangat serasi. Mereka adalah pasangan yang mempunyai wajah rupawan. Dan mereka juga mempunyai status sosial yang sama. Yang tentu saja tak sebanding dengan Wonwoo yang hanyalah namja miskin sebatang kara.

Wonwoo menatap cermin dihadapannya. Menatap bagaimana keadaannya yang terlihat sangat memprihatinkan. Sungguh. Siapa saja pasti akan merasa miris melihat bagaimana keadaan Wonwoo saat ini. Mata sembab, baju yang terlihat kusut. Jangan lupakan wajah yang biasanya berbinar bahagia itu sekarang tergantikan dengan gurat kesedihan.

"Apa aku memang tak pantas bahagia?" Wonwoo bergumam lirih. Bertanya pada pantulan kaca yang memperlihatkan dirinya sendiri. Dan setelahnya ia hanya bisa terkekeh saat sadar bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah kebodohan.

Namja Jeon itu mengusap air mata yang lagi dan lagi mengalir tanpa permisi dari matanya. Ia akhirnya memilih untuk berjalan menuju tempat tidur, tempat ternyaman yang ia miliki untuk saat ini. Ia saat ini memang telah berada dirumah. Ia yang tak sanggup melihat bagaimana Mingyu bersanding dengan orang lain akhirnya memilih untuk pergi. Bukankah ada atau tidak adanya ia disana tak berpengaruh apapun? Bukankah jika ia tetap memilih disana itu hanya akan membuat luka yang ia rasakan semakin dalam?

Wonwoo membaringkan tubuh ringkihnya. Tubuh kecil itu meringkuk, mencari kenyamanan walau sejujurnya itu hal mustahil.

Wonwoo kembali menangis sambil memeluk dirinya sendiri. Sungguh. Ia berharap bahwa apa yang ia alami saat ini hanya sebuah mimpi buruk, yang akan hilang disaat ia membuka mata. Namun ia sadar bahwa apa yang ia pikirkan itu tak akan menjadi kenyataan. Sama seperti kepergian orang tuanya. Dulu disaat kedua orang tuanya pergi, Wonwoo selalu berharap bahwa itu adalah sebuah mimpi buruk yang akan segera menghilang jika ia terbagun. Namun ternyata apa yang ia harapkan tak terwujud, karena yang ia alami adalah sebuah kenyataan. Kenyataan pahit yang harus ia hadapi.

Mata bak rubah itu terlelap. Tubuh ringkih yang terlihat lelah itu mulai beristirahat. Mengistirahatkan tubuh, hati dan pikirannya yang sangat lelah.

.

.

"Eomma, appa?" Namja Jeon itu bergumam lirih. Takut jika apa yang ia lihat hanyalah sebuah ilusi. Namun semua ketakutannya itu sirna saat sosok yang ia panggil itu tersenyum dan mendekat. Bahkan mereka memeluk Wonwoo. Menghimpit tubuh kecil nan ringkih itu dengan sayang.

Wonwoo tak bisa membendung tangisannya saat pelukan yang selama ini ia rindukan kembali ia rasakan. Sungguh. Andaikan saja bisa, Wonwoo ingin menghentikan waktu. Ia ingin terus merasakan pelukan nyaman dari kedua orang tuanya.

Wonwoo merasa sedikit kehilangan saat orang tuanya melepaskan pelukan mereka. Namja Jeon itu menatap orang tuanya sambil cemberut, hal yang selalu ia lakukan saat ia sedang merajuk. Dan hal itu membuat tuan dan nyonya Jeon terkekeh. Bocah manis mereka masih sama saja, bahkan setelah menjadi namja dewasa.

Meanie (One Shoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang