54. Never

1K 154 13
                                    

“Masih kerja?” tanya Beby sambil berjalan menghampiri Vivi yang duduk di atas sofa dengan beberapa kertas berserakan di atas meja dan juga laptop yang menyala entah sejak kapan.

Vivi menoleh, ia tersenyum tipis, menganggukkan kepalanya. Tangannya mengaitkan resleting jaketnya, lalu menarik sampai ke lehernya. Dua jam yang lalu ia masih bertengkar dengan Mira, dan sekarang ia sudah berada di apartemennya, kembali menyelesaikan pekerjaannya.

Vivi mengangkat kepalanya, ia melihat jam dinding yang sudah menunjukkan jam 12 lewat tengah malam. “Kok lo belum tidur?”

“Ada yang gue pikirin.” Ucap Beby sambil duduk di samping Vivi.

“Sorry gue udah nyakitin Chika lagi.” Ucap Vivi sambil menundukkan kepalanya, ia masih teringat bagaimana reaksi Chika saat mengetahui dirinya sudah tidak lagi mencintai Chika.

Beby menghela napas panjang, ia mengangkat kakinya lalu ia lipat di atas sofa. “Mau gimana lagi? Gue gak bisa maksa perasaan orang.”

“Gue bikin Chika nangis tadi.”

“Gue tahu.”

“Dia cerita ke elo?”

Beby menganggukkan kepalanya, ia tersenyum kecil, “Dia bilang kalo lo brengsek, kurang ajar, gak ada otak, bodoh, gila, bastard dalam bahasa indonesia, dan sejenisnya.”

Vivi terkekeh mendengar itu, “Gue pantes dapetin itu semua.”

“Apa yang lo sembunyiin?” tanya Beby tiba-tiba.

Vivi menoleh sebentar lalu mengambil kertas dan membacanya, “Gue gak nyembunyiin apa-apa.”

“Gue tahu lo bohong.”

“Enggak.” Ucap Vivi sambil tertawa kecil.

“Gue kenal elo dari kecil, gue tahu kapan lu boong kapan lu jujur.” Ucap Beby.

Vivi menghela napas panjang, ia meletakkan kertasnya di atas meja. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. “Gue pengen cerita, tapi kayaknya ini belum tepat.”

Beby menganggukkan kepalanya, “Oke, jangan sampe lo nyesel nanti.”

“Gue tahu.” Vivi tertawa kecil, “kenapa kak Anin gak kesini?”

Beby tahu kalau Vivi mencoba mengalihkan topik pembicaraan mereka, ia semakin yakin kalau ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Vivi. Ia juga sempat ragu saat Vivi mengatakan kalau sudah mencintai Chika lagi, karena ia sangat tahu bagaimana watak-watuk Vivi, dan ini suatu hal yang aneh menurutnya.

“Kita pisah.” Ucap Beby.

Vivi menoleh, ia menyadari Beby mengucapkan itu tanpa ada beban sama sekali, “Udah lama?”

“Hampir 5 bulan yang lalu.”

“Kenapa semuanya pada putus coba?” tanya Vivi sambil memejamkan matanya.

Beby mengangkat kedua bahunya ke atas, ia juga baru tahu kalau Shani dan Gracia sudah berakhir. Tidak ada yang berakhir lama, baik dirinya, Shani, maupun Vivi. Biasanya dalam sebuah hubungan akan ada sedikit adu argumen, tapi setelah itu akan baik-baik saja, tapi mereka bertiga tidak, hanya perlu sekali argumen dan semuanya berakhir.

“Kak, tolong ambilin aspirin dong.” Ucap Vivi sambil mengurut keningnya.

“Lo sakit?”

Vivi menggelengkan kepalanya, “Cuma pusing.”

Beby mengangkat tangannya dan menyentuh dahi Vivi, terasa hangat, pasti Vivi terkena demam gara-gara hujan-hujan tadi. “Bentar.”

Beby berjalan ke dalam dapur, ia mencari obat yang bisa ia gunakan untuk menurunkan demam, ia sudah mencari ke semua bagian di dalam dapur, tapi tidak menemukan satu obat pun. Beby mengusap kasar rambutnya, ia tidak tahu bagaimana menangani orang yang terkena demam, tapi ia tidak mau membuat Shani dan Chika khawatir.

SemicolonWhere stories live. Discover now