U

2 0 0
                                    

Reysha menekuk wajahnya setekuk-tekuknya seperti pakaian yang tidak diseterika selama satu tahun, hanya bersandar di bahu Sean yang sedang memeluknya dari samping. Saat ini orang-orang sedang berkumpul di restoran yang sedang mengadakan grand opening, merayakan kemenangan tim Haikal kemarin.

"Lu napa sih Rey, nempel mulu sama Sean kayak kucing aja." Ando berkata tanpa mengalihkan pandangan dari handphonenya, sedang bermain game online dengan Haikal. Sherin ada disamping Haikal, ber-selfie ria.

"Kesel kali karena ada gue," suara bariton  yang menurut Reysha mampu membuat bulu kuduknya merinding, tiba-tiba menyahut seenaknya.

Elta menoleh ke arah Aksa dan Reysha bergantian, berkedip dua kali sambil berkipir lalu berucap. "Masih nggak nyaman ya sama mantan, Rey?"

Duk

Sendok garpu tiba-tiba mengenai kepala Elta, untung saja tidak menancap. Elta mengaduh sebentar lalu menolehkan kepalanya, ingin tahu siapa manusia yang tega melakukannya. Aksa.

"Napa sih?!" Kini Elta mulai sewot.

Sambil tersenyum menyebalkan, Aksa berkata, "Jangan bahas masa lalu etdah."

"Kekasih dua hari apa kenangannya, nggak berkesan sama sekali!" Sean kini menyahut dengan muka datarnya. "Cuma uji coba saat khilaf aja bangga." Lanjutnya lalu tersenyum miring.

Kini Aksa mulai menegakkan tubuhnya, "Kuy ke lapangan kalau ngajak ribut!"

"Udah kalian apa-apaan sih, jangan ngerusak suasana deh." Elta menengahi.

"Iya, kek bocil aja." Nana kini bersuara.

"Napa lu ikut-ikutan, bagus dari tadi diem aja." Aksa ngegas.

"Hm." Balas Nana malas, karena dia juga tidak terlalu akrab dengan Aksa meski dulu juga satu SMP.

"Nih makanan udah datang, yuk makan!"

"Makaaaan!" Sorak mereka kompak.

Reysha mulai menegakkan tubuhnya, mengambil porsi makanan untuknya dan Sean lalu mulai makan seperti yang lainnya. Sesekali juga mengobrol dengan Nana dan Elta tentang tugas Matematika yang tadi diberikan.

Selesai acara makan-makan ini, satu-persatu orang yang ikut acara ini mulai pulang. Kini tersisa Reysha, Sean, Nana dan Aksa. Sean mengambil motor di parkiran belakang, hingga kini tersisa mereka bertiga yang diam dalam kondisi canggung.

"Eh, itu pacar lo kan?" Nana bertanya pada Aksa yang sedang bersender sambil merokok, sesekali melirik Reysha yang berdiri menunggu Sean. Aksa menoleh lalu menyipitkan matanya. Benar, itu Renata.

"Wah, ini barang limited edition hlo Ren, gimana coba lo bisa dapatin?"

"Ini pasti mahal banget ya?"

"Uhm, iya ini dari uang gue sendiri lho. Ya, gue nabung-nabung gitu buat beli daripada minta dari orang tua langsung kan kasian orang tua gue," Renata memamerkan barang-barang terbaru miliknya dengan penuh semangat. Tanpa ia tahu Aksa melihatnya dan mendengarkan perkataannya dengan jelas.

"Itu bukannya barang-barang dari lo ya, Sa?" Tanya Reysha yang sedari tadi diam saja.

Aksa menoleh pada Reysha sejenak, diam saja lalu menoleh pada Renata kembali. "Nah, sekarang gue mau traktir kalian makan disini. Silakan pesan sepuasnya, ya jangan sungkan jangan ragu, gue yang traktir pokoknya."

Suara Renata kembali terdengar. Aksa mendinginkan raut wajahnya. Barang-barang itu semua beli dengan uangnya, sesuai dugaan Reysha. Lalu kini, Renata mentraktir teman-temannya menggunakan uang yang diberikannya juga, dengan alasan tadi katanya untuk membeli buku-buku pelajaran. Aksa selama ini sudah sabar, karena Renata tidak pernah membuatnya marah, membuatnya nyaman, dan selalu mengalah saat mereka bertengkar. Namun, kini Aksa sadar, itu semua Renata lakukan demi 'uang' nya. Setelah membuang puntung rokoknya, Aksa berniat menghampiri pacarnya itu.

"Aksa!" Reysha mencekal tangan Aksa yang hendak menghampiri Renata dengan raut wajah penuh emosi. Bukan apa-apa tapi, jika Aksa marah maka meja disini akan hancur dan tentu saja, harus ganti rugi dan imagenya jadi jelek. Sebenarnya itu bukan urusannya tapi...Entahlah, Reysha rasa dia harus melakukannya.

Aksa berbalik, menatap mata Reysha dalam-dalam. "Gue udah loss!" Lalu menghempaskan tangannya dan kembali berjalan menghampiri Renata.

"Rey, udah kita balik yuk. Tuh Sean udah kelihatan, kita nggak usah ikut campur."

"Tapi--"

"Yuk, Rey!"

Reysha menoleh, Sean sudah datang dengan motornya. Ada mobil berwarna hitam juga berhenti didepan mereka, jemputan Nana. "Ayo Rey." Nana menarik tangan Reysha.

Brukk

Mereka bertiga menoleh. Aksa sedang membanting semua barang-barang milik Renata. "Ayo Rey, pulang. Nanti kamu capek." Suara Sean kembali terdengar.

"Tap--"

"Aksa nggak mungkin nyakitin cewek, percaya sama aku." Sean berkata dengan serius. Meskipun mereka tidak pernah akur bahkan bisa dianggap musuhan, namun tetap saja dia percaya Aksa adalah tipe orang yang menghargai seorang perempuan.

Karena Sean berkata seperti itu, Reysha menjadi yakin. Dia mengikatkan jaketnya dipinggang lalu menaiki motor Sean. Nana pun mulai melangkah memasuki mobilnya. Setelah itu mereka meninggalkan area restoran.

***

Pyarr

Mendengar suara keributan dan vas bunga yang terlempar, jatuh tepat di depan kakinya, Elta langsung berlari menghampiri kedua orangtuanya yang kini berada di kamar.

"Udah terserah kamu aja, aku nggak peduli!"

"Durhaka kamu jadi istri, pergi kamu dari rumah ini!"

"Ok, aku akan pergi!"

"Papah, Mamah, kalian ngapain? Mama mau ke mana?" Elta menahan gerakan tangan Mamahnya yang sedang memasukkan baju ke dalam koper, sambil menangis.

"Sayang, kamu mau ikut Mamah atau  Papah,  nak?" Sindi, Mamahnya memegang kedua bahu Elta sambil menatap Elta dalam-dalam. Elta menggeleng keras.

"Nggak, kalian harus tetep sama-sama aku nggak mau kalian kayak gini, plis Mah, Pah," Elta memandang kedua orangtuanya bergantian, berharap bisa meredakan emosi keduanya.

Tanpa sepatah katapun, Papahnya melangkah pergi meninggalkan mereka berdua setelah mendengus kasar dan menutup pintu dengan keras. Sindi memeluk anaknya itu erat-erat. "Kamu harus ngerti keadaan kami berdua, nak. Mungkin ini jalan terbaik bagi kami."

Di dalam pelukan Mamahnya, Elta menggeleng kuat-kuat sambil terisak. "Nggak, nggak kayak gini. Allah benci perceraian Mah, kalian harus tetap sama-sama."

Sindi melepaskan pelukannya saat mendengar ucapan anaknya. Memang benar namun, tidak ada pilihan lain saat ini. Dia dan suaminya sudah tidak sependapat, sudah tidak searah lagi. "Mamah sementara ini ke rumah Nenek dulu ya, sayang, sambil menjernihkan pikiran. Kamu boleh nyusul kapanpun kamu mau."

"Tapi Mah--"

Elta berhenti bicara saat Mamahnya meletakkan jari telunjuk di bibirnya. Saat itu juga, Sindi tersenyum masam lalu berkata lembut. "Anak Mamah nggak boleh cengeng, ini adalah ujian bagi Mamah dan Papah. Kamu cukup do'akan kita berdua, ya?"

Merasa tidak kuasa menahan keinginan Mamahnya, Elta terpaksa mengangguk dan keluar dari kamar ini sesuai permintaan Sindi. Menghembuskan napas yang panjang, lalu Elta melangkah menuju kamarnya. Rumah ini sepi, sepertinya Papahnya sudah pergi entah ke mana.

Di kamarnya, Elta menatap jauh ke luar jendela. Kedua kakinya ia tekuk, kepalanya ia senderkan diantaranya. Merasa teringat sesuatu, ia melangkah turun dari ranjangnya dan membuka laci mejanya, mengambil sebuah kotak yang indah lalu membukanya. Sebuah foto seseorang yang selalu berhasil membuatnya tenang dan semangat dalam menjalani hari-harinya. Foto seseorang yang disukainya, sejak pertama kali bertemu, saat SMP.

Masih dia ingat bagaimana laki-laki itu tersenyum padanya dengan tulus setelah membelanya dari bullyan anak-anak nakal. Sejak saat itu, mereka dekat dan menjadi seorang sahabat dengan seseorang yang lainnya. Dan sejak saat itulah, Elta memendam perasaan untuknya, karena Elta tahu, lelaki itu mencintai orang lain.

Elta menghapus air matanya cepat-cepat. Dia harus sadar dan kembali pada kenyataan bahwa lelaki itu bukanlah takdirnya. Tapi... bolehkan, dia berharap kepada Tuhan agar bisa mempersatukan mereka?

***

Better With SeanWhere stories live. Discover now