BAB 18 Jodoh menurut Inem.

621 137 35
                                    

Malam minggu memang malam yang paling ditunggu-tunggu oleh kaula muda, malam dimana mereka bisa bersua untuk melepas rindu di dada pada pacar atau gebetan tercinta. Gak terkecuali, Udyn.

Cowok blasteran itu masih di WMT, masih pakai seragam sekolahnya juga, dia duduk di sofa, berhadapan dengan seorang cewek yang sangat dia cinta, siapa lagi kalau bukan Inem, putri Mbok Iyem. Tangan mereka berdua saling bertaut dalam genggaman yang erat, Inem hanya menunduk malu-malu, menyembunyikan rona merah di pipinya. Sementara Udyn, menatap lekat si gadis desa, yang telah mencuri hatinya.

Lain halnya di dalam warung, Mbo Iyem tengah mengintip anak perawannya lewat sela-sela etalase, sambil mengelap piring-piring yang baru saja dia cuci. Senyumnya terus terpatri dari tadi, dalam hati dirinya senang, bahwa paras sederhana milik anaknya, mampu meluluhkan seorang cowok setengah bule seperti Udyn.

Hitung-hitung memperbaiki keturunan, pikir Mbok Iyem.

"Neng ...,"

"Dalem, Mas?" Inem menjawab, suaranya begitu lembut, seperti kapas.
(Iya, Mas.)

"Neng, please. Kasih Abang kesempatan, sekali aja, ya?" pinta Udyn, tentu dengan logat betawinya yang kental, seperti Darto.

Perbedaan logat, budaya, dan latar belakang yang kentara diantara mereka berdua, nyatanya gak sekalipun mampu menyurutkan api asmara yang menggelora dalam dada mereka. Entah sudah berapa kali, Udyn menyatakan cintanya pada Inem, dan berusaha mengikat gadis kelahiran Purworejo itu untuk menjadi pacarnya. Tapi, Inem selalu saja menolaknya, meskipun sebenarnya Inem juga merasakan hal yang sama.

Inem menggeleng samar, matanya bergulir, memandang wajah ganteng khas Timur Tengah milik Udyn, bibir bawahnya mengulum, menahan rasa malu yang selalu saja melingkupinya, jika mata mereka saling bersua.

"Sepurane, Mas. Aku ra iso--"
(Maaf, Mas. Aku gak bisa--)

"Kenapa Neng? Kenapa?" sela Udyn, gak terima dengan jawaban Inem yang selalu sama.

"Mas, aku iki ndak pantes buat Mas. Aku cuma anak tukang warung, anak kampung. Banyak yang lebih baik, cantik, dan kaya daripada aku, Mas," tutur Inem, tapi Udyn malah menggeleng,

"Enggak Neng. Abang gak perduli siapa dan darimana Neng," Udyn menjeda ucapannya, genggaman tangannya semakin erat, "Abang gatau kenapa, tapi Abang cuma mau Neng. Abang cinta sama Neng."

Jadilah Inem semakin merona, sebab ini kali pertama, Udyn blak-blakan menyatakan cintanya. Kemarin-kemarin, Udyn baru berani bilang 'suka' bukan 'cinta' kaya sekarang ini. Udyn pun bukannya menggombal, atau hanya sekedar bualan modus belaka, dia memang benar-benar cinta sama Inem. Cinta pada pandangan pertama, saat Inem baru saja datang dari kampung, dan tengah membantu ibunya di warung--termasuk menyuguhkan kopi pesanan Udyn saat itu. Dan mulai dari situ, hati Udyn teralihkan pada Inem seorang.

"Kalo emang Mas beneran cinta sama Aku, apa boleh Aku minta syarat?"

"Boleh Neng! Boleh!" Udyn menyahuti, senyum lebar langsung terpatri di wajahnya.

"Mas berenti bolos, Mas berenti tawuran, Mas harus jadi anak baik-baik, iso?"

Udyn sedikit mengendurkan genggaman tangannya dari Inem, wajahnya nampak berpikir, dia bimbang rupanya. Tapi detik berikutnya, secercah keyakinan tergambar jelas di wajah Arabnya itu.

"Kalo emang itu syaratnya, Insha Allah, Abang lakuin buat Neng!" Udyn berkata, penuh keyakinan.

"Bener ya? Berhenti bolos?"

"Iya Neng, lagian juga Abang jarang bolos, yang suka bolos itu Darto. Itu bocah alpanya tiga puluh dua."

"Lah, kalo Mas, piro?"
(Lah, kalo Mas, berapa?)

𝐆𝑎𝑟𝑎-𝐆𝑎𝑟𝑎 𝑫ᴀʀᴛᴏ (TAMAT)Where stories live. Discover now