8. Nggak Mau Nikah

10 1 0
                                    

Happy reading 🥰

Matahari tenggelam sejak dua jam lalu, kini aku sedang berada di kamar mengerjakan beberapa soal biologi seperti biasanya, ditemani dengan sepiring bolu pisang dan susu vanilla.

Mama dan Papa sedang menonron televisi di  ruang keluarga. Baru lima soal yang kuselesaikan, suara mobil terdengar di depan rumah, dengan terpaksa kututup buku dan keluar dari kamar menuju ruang tamu.

Mama dan Papa sudah ada di depan pintu. Dari dalam rumah aku bisa lihat kalau yang baru saja memasuki pelataran rumahku itu adalah mobil milik Om Apit sepupu Mama.

Tante Mona keluar terlebih dahulu dari pintu sebelah kiri, menggendong anak laki-lakinya yang baru berumur satu tahun, kemudian disusul Om Apit yang keluar dari pintu  kemudian.

“Dari mana ini tadi?” Tanya Mama menyalami Tante Mona dan Om Apit bergantian.

“Dari rumahnya Teh Aas, terus ke rumah Kang Adi sekalian mampir sini.”

“Sini masuk-masuk,” tawar Papa menyilakan masuk dua tamu itu.

“Nabel,” sapa Tante Mona heboh saat melihatku, membuat anaknya yang tertidur sempat kaget karena suara Tante Mona yang cukup keras. Aku langsung menyalaminya dan menyalami Om Apit.

“Juna tidurin di kamar tamu aja, kasian itu capek banget,” suruh Mama dan langsung disetujui Tante Mona. Aku pergi menuju dapur membuatkan teh hangat serta menyiapkan bolu pisang tadi sebagai hidangannya.

Kubawa nampan berisi empat cangkir teh hangat dan sepiring bolu lalu meletakkannya di atas meja. Aku langsung duduk di samping Mama, mereka sudah berbincang banyak aku hanya mendengarkan mereka.

“Terus ini mau diadain di mana?” Tanya Papa.

“Di rumahnya Kang Jefri, biar yang dari Tasik nggak kejauhan, biar adil gitu katanya.”

“Kapan acaranya?” Tanya Papa lagi.

“Masih sebulan lagi sih, biar nggak buru-buru juga kan ini butuh banyak persiapan, dan perlu banyak waktu juga buat ngabarin sodara-sodara,”

“Acara apa Ma?” Tanyaku lirih pada Mama.

“Arisan keluarga.” Aku mengangguk mengerti.

“Udah lama banget ya teh nggak ngadain arisan keluarga gini.” Ucap Tante Mona memulai obrolan lain. Papa sama Om Apit asik ngobrol sendiri masih bahas perihal arisan keluarga.

“Terakhir waktu hajatannya Kang Lukman, nikahannya si Nurul,” jawab Mama “Waktu itu si Nabel masih SMP ya?”

Aku menganggguk. Terakhir kali ada arisan keluarga memang saat acara pernikahannya Teh Nurul dan saat itu aku masih SMP kelas IX tepatnya. Dan seletah itu tidak ada lagi acara arisan keluarga yang aku tidak tau apa sebabnya.

“Ini July nggak ikut kemana?” Tanya Mama kental dengan logat sundanya. July itu kakaknya Juna, anak sulung Tante Mona, umurnya masih lima tahun, dia baru masuk TK tahun kemarin setahuku.

“Diajak pergi nggak mau, cape ceunah. Disekolah tadi disuruh gambar rumah, abis itu nyanyi-nyanyi. Suka heran sama anak itu, dikit-dikit ngeluh.”

“Ya namanya juga bocah. Nabel yang gedenya segini aja masih suka ngeluh.”

“Kapan aku ngeluh?”

“Halah, kamu tuh suka ngelupa.” Tante Mona terlihat tertawa, lalu menyesap minumannya yang kepul asapnya tidak seramai awal tadi.

“Mama sehat?” Tanya Mama lagi.

“Sehat, buktinya masih bisa main sama ngurusin July. Aku kalo suruh ngurus July suka nggak sabar. Apalagi aku juga ada Juna yang masih bayi.”

Hi Mom [SELESAI] √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang