24. Pulang

216 25 4
                                    

Entah berapa banyak lagi hinaan yang harus ia terima

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Entah berapa banyak lagi hinaan yang harus ia terima. Dan entah berapa banyak lagi seringai-seringai serta tawa menyeramkan yang harus ia dengar. Tubuh gadis itu tampak gemetar seperti anak kucing yang baru saja tercebur di selokan, lalu ditinggal pergi sang induk. Sudut tersembunyi dekat gudang penyimpanan peralatan sekolah kini tengah jadi saksi bisu sebuah penghakiman sepihak yang tiada henti menggerus harga dirinya.

Sungguh, ia tak paham akan kesalahan apa yang telah diperbuat sehingga perlu mendapatkan perlakuan kurang manusiawi semacam ini. Apa hanya karena dirinya yang terlalu pendiam dan menutup diri di kelas, makanya ia patut diberi pelajaran dan dibenci? Ataukah hanya sebab masa ketidakstabilan hormon yang tengah menerpa anak-anak seusianya itu hingga akhirnya mereka bersikap labil?

"Rasain! Biar lo paham sekarang."

Seorang siswi dengan rambut berombak panjang menatap sinis. Tanpa ampun, ia lalu menjambak kuat-kuat helaian rambut gadis yang kini tersudut di hadapannya, membuat pekik kesakitan mengalir lirih dari bibir.

Satu dari dua siswa laki-laki—yang juga terlibat dalam laku perundungan itu—lalu ikut-ikutan menghardik. Tanpa merasa berdosa, dan dengan ringannya, seluruh isi tong sampah yang ada di sudut ruang kemudian ia siramkan di atas kepala si gadis malang.

"Ck, Fara ..., Fara. Makanya jangan mentang-mentang bokap lo punya duit dan donatur yayasan, terus lo bisa seenaknya."

Seorang siswa lain pun tak mau kalah ikut-ikutan menimpali. Ia membawa-bawa hal yang seketika membuat siswi yang ia sapa dengan nama 'Fara' itu, kian merutuki diri, merasa bodoh sendiri.

Waktu itu seharusnya tidak perlu mengaku dengan Ayah. Tidak perlu membuatnya naik pitam sampai perlu bicara empat mata di depan kepala sekolah. Harusnya semua perlakuan semena-mena yang ia terima ditahan saja sampai lulus nanti. Lihat sekarang, semuanya malah jadi tambah runyam.

"Cewek sampah!"

Satu hardikan terlontar lagi bibir siswi yang sedari tadi paling banyak main kasar. Tangan-tangan jahil mereka kemudian tak berhenti sampai di sana, pertunjukan terakhir baru akan dimulai. Keempatnya lalu kompak menyiramkan cairan kekuningan yang sudah sengaja disiapkan dalam botol-botol plastik bekas ke atas kepala Fara. Aroma pesing mendadak menguar.

Helaian rambut dan bajunya lantas basah oleh air seni. Sungguh, Fara bahkan saat itu merasa begitu jijik dengan dirinya sendiri. Tawa dan kikik menyeramkan terus keluar dari bibir-bibir para perundung, menunjukkan keangkuhan dan kepongahan. Fara merasa dirinya sudah seperti hewan menjijikan yang tengah berkubang di lumpur dan jadi tontonan—sebegitu hinanya.

Menahan kengerian adalah satu-satunya yang bisa dilakukan Fara. Tubuhnya memang sakit, tetapi batinnya jauh lebih menderita dari apa pun. Ketika semua harga diri dan keberanian Fara hampir tiba di titik nadir, seseorang tanpa aba-aba hadir mengenggam tangannya. Mengeluarkan Fara dari lingkaran kebencian yang menghakimi.

Sosok yang secara tak sengaja sudah satu tahun lewat menjadi teman sebangkunya itu, tanpa diundang muncul dan melakukan aksi balasan. Ia dan satu orang sahabatnya—yang Fara tahu adalah ketua Palang Merah Remaja di sekolah—memukul mundur para perundung tanpa banyak bicara. Membuat mereka akhirnya lari tunggang-langgang bak kawanan hyena pengecut yang kalah dalam pertarungan melawan singa.

Soufflé (FIN)Where stories live. Discover now