🔵 Prolog

2.9K 66 10
                                    

Ketika aku masih kecil, ibuku hendak mengunjungi nenekku di Kota. Aku memohon untuk ikut dengannya. "Kau boleh ikut, tapi ingat—" kata ibuku, "Nenek sedang sakit."

Aku sering melihat orang sakit, jadi aku tidak begitu mempersoalkannya. Lagi pula waktu kami sampai di Kota, nenekku mungkin sudah sembuh. Lalu kami akan bersenang-senang seperti biasa. Aku ingat aku sangat merasa penting pada musim panas ketika nenekku menggendongku di bahunya, melewati jalan-jalan yang di penuhi perkebunan dan peternakan.

Aku dan ibuku naik kereta ke Kota. Ia membawa sekantong buah ceri. Kantongnya besar, tapi bukannya memberiku segenggam ceri untuk dimakan, ibu malah menyuruhku untuk memegang kantong itu. Setelah aku memakan sedikit ceri, aku menoleh pada ibuku. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Meski ibuku duduk di sebelahku, ia memalingkan wajahnya ke luar jendela, sibuk dengan pikirannya sendiri.

Kuambil lagi segenggam ceri, ibuku tetap tidak berkata apa-apa. Ia bahkan tidak memperhatikan. Ibuku membiarkanku memakan ceri sebanyak yang kuinginkan, tapi ketika aku menunduk dan memeriksa kemeja baruku dan melihat noda ceri di kemeja itu—aku takut akan mendapat masalah. Ketika kukatakan itu pada ibuku, ia mengatakan "Tidak apa-apa." Lalu dengan sabar ia mengelap noda itu dengan kain basah.

Dari stasiun kereta kami naik taksi menuju rumah nenekku. Ketika kami sudah semakin dekat, aku semakin merasa gembira. Nenek sangat pandai mendongeng dan dongeng-dongengnya selalu membuatku merasa istimewa.

"Nenek, ayo dong ceritakan dongeng." aku akan berkata, lalu biasanya ia akan mulai bercerita.

"Pada zaman dahulu kala. Ada seorang wanita bak Malaikat bernama..." Setiap cerita pasti dimulai dengan seorang wanita bak Malaikat. Ketika aku tiba di rumahnya, kata-kata pertamaku pasti, "Nenek, ayo dong ceritakan dongeng."

Ketika sampai di rumah nenek, ia tidak keluar untuk menyambutku. Bahkan setelah aku berlari menaiki tangga depan, ia tetap tidak keluar menemaniku. Aku berlari masuk ke kamar tidurnya. Dalam sekejap aku berubah selamanya, karena yang kulihat di kamar itu bukan nenekku yang gembira dan ceria, melainkan tubuh yang kurus kering, keriput, dan rapuh.

Malam itu ketika aku pergi tidur, kudengar nenekku mengerang kesakitan. Hatiku sangat pilu dan ngilu seperti kalau ada orang yang menggeretkan kuku jarinya di papan tulis. Aku hanya ingin menghentikkannya. Erangannya berlanjut sampai malam.

Esok paginya, aku bertanya pada ibuku apakah aku bisa pulang karena terlalu menyakitkan bagiku melihat Nenek sakit seperti itu. Siangnya ibuku mengantarku ke pesawat terbang untuk pulang. Beberapa minggu kemudian, ibuku pulang dan bertanya apakah aku keberatan jika Nenek tinggal bersama kami. Aku tidak ingin melihat Nenek lagi.

Meski Nenek tinggal bersama kami beberapa bulan berikutnya, aku tidak pernah masuk ke kamarnya. Ia tidak bisa turun dari ranjang. Aku tidak perlu melihatnya. Tapi ketika aku melewati kamar tidurnya, aku sering dapat melihat punggungnya. Kadang-kadang punggunggnya terlihat lebih jelas dari balik baju tidurnya. Kulihat kulitnya yang keriput dengan tulang punggungnya yang tampak menonjol pada kulitnya yang menggelantung. Aku merasa malu karena kupikir tidak seharusnya aku melihat sisi nenekku ini.

Suatu hari, nenekku memanggilku ketika aku melewati kamarnya. Aku tidak ingin masuk. Tapi suaranya terdengar akrab dan tidak asing. Suara yang tidak mungkin kukecewakan. Kuikuti suara itu seperti tanpa sadar. Di kamarnya, aku tidak memandang ke arah nenekku. Aku hanya menunduk dan berkata pada diri sendiri bahwa ini bukan nenekku—tidak mungkin nenekku!

Aku hendak berlari keluar dan meninggalkan kamar itu selamanya ketika akhirnya nenekku berkata, "Pada zaman dahulu kala ada seorang wanita bak Malaikat bernama Lunox...." Aku mengikuti kata-katanya menuju tempat di balik kata-kata dan tubuh yang rapuh dan keriput, ke tempat yang kukenali dan kuingat. "...dan Lunox sangat mencintai semua orang termasuk nenek tua yang tidak bisa melakukan apa-apa."

Meski tubuhnya tetap keriput dan sekarat, kini aku bisa melihat nenekku di balik penampilannya. Sejak saat itu aku masuk ke kamarnya setiap hari, hingga nenekku meninggal, dan setiap hari ia selalu menceritakan sebuah dongeng tentang "Kembalinya Malaikat Bernama Lunox."

PROLOG
| The Story Will Be Published In |
| 01-October-2020 |

[S3] ⚫ MOBILE LEGEND FANFICTIONWhere stories live. Discover now