Like Father Like Son

2K 136 29
                                    

Kepala tertunduk, jari-jari tangan saling merapat, dan bibir bungkam seribu basa. Anak kecil ini hanya bisa berdiri diam didepan sang ayah yang kala itu tengah menatapnya lekat-lekat. Ekspresi asing itu sontak membuat nyalinya mengkerut.

"Memecahkan kaca lagi?" tanya suara datar sang ayah.

"..."

"Haowen."

Si kecil Haowen masih tak bergeming. Kini matanya sudah memanas. Ia tahu kalau perbuatannya kali ini akan membuat ayahnya marah besar.

"Ini ketiga kalinya dalam seminggu bolamu mengenai kaca rumah orang. Pulang sekolah malah pergi ke lapangan, main bola sampai sore, dan pulang karena kabur takut dimarahi. Eomma dan appa tidak pernah mengajarkanmu begitu."

"Sehun..sudahlah. Haowen masih kecil."

"Haowen perlu sedikit disiplin, Lu. Nanti kebiasaan."

Luhan mendesah pasrah. Ia mengerti posisi dan kondisi Sehun sebagai seorang ayah, tapi sebagai ibu, mana bisa ia tega melihat putra sulungnya terus diam sambil menahan tangis didepan mata. Senakal apapun seorang anak, tidak ada ibu yang tak memaafkan.

"Tidak ada bola sampai bulan depan. Sekarang cepat mandi dan kerjakan tugas sekolahmu." titah Sehun tegas sambil meraih bola sepak kotor milik Haowen dari lantai dan berlalu pergi.

Sehun sebenarnya sedang menahan diri ketika melihat Haowen mendongak dengan mata berkaca-kaca. Sudah pasti anak itu terkejut hobinya dilarang sang ayah. Tapi apa boleh buat, Haowen sudah besar dan Sehun merasa harus menerapkan sedikit disiplin agar anaknya itu tahu peraturan.

"Appa..." suara parau Haowen pecah. "...bolanya jangan diambil. Haowen janji tidak akan mengulanginya lagi...hhikkkss..ja..jadi..jangan larang Haowen main bola ya, appa? Mi...mianhaeyo..."

Sehun berhenti melangkah. Ia berdiri diam memunggungi si sulung yang mulai menangis tersedu.

"Ha..Haowen janji, appa...Haowen janji...hhhiikkss...hhikksss..bolanyaaa..."

"Ssssshhh...sudah-sudah. Anak eomma tak boleh cengeng begini. Appa tidak marah sayang. Berhenti menangis, ya?" Luhan merayu.

"Eomma...hhikss..eommaaaa..." si kecil pecinta bola itu semakin merengek.

"Mandi dan kerjaan tugas sekolah. Tidak ada bola sampai bulan depan. Dengar?" Sehun mengulang kata-katanya dalam nada lebih tegas dan malah membuat Haowen sesenggukan parah dipelukan ibunya.

Sisa hari itu Haowen sama sekali tidak keluar kamar. Sahutan si kecil Ziyu pun ia acuhkan. Padahal biasanya, sehabis pulang sekolah dan selesai mengerjakan tugas sekolahnya, rumah pasti berisik oleh ulah keduanya.

Sejak beberapa tahun lalu, Luhan diangkat menjadi redaktur. Pekerjaan yang tidak mudah tapi membuat Luhan bersyukur karena ia banyak memiliki waktu luang. Luhan tak harus mengerjakan naskah-naskahnya di kantor. Semua naskah yang ia tangani hanya harus dikirim melalui e-mail jadi kini ia memiliki waktu lebih banyak dirumah. Setiap hari ia memang pergi ke kantor, tapi begitu makan siang selesai, ibu dua anak ini sudah dirumah bersama jagoan-jagoannya. Luhan akan pergi menjemput Ziyu ditempat penitipan anak dan menjemput Haowen di sekolah terlebih dulu.

Tapi memang akhir-akhir ini Haowen agak lebih hiperaktif dari biasanya. Anak sulungnya itu tidak mau dijemput dan selalu pulang dalam keadaan penuh lumpur atau sedikit luka lecet di siku dan lutut. Haowen memang selalu membawa bola sepaknya ke sekolah meskipun tidak ada pelajaran olah raga. Dan benda itulah yang menjadi alasan kenapa ia tidak mau dijemput Luhan sekaligus alasan yang membuat kesabaran ayahnya diuji. Tiga kali memecahkan kaca, tiga kali pula Sehun kena tegur pemilik rumah yang mengatakan kalau ulah Haowen itu karena kurang pengawasan orang tua.

Daddy's ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang