27

2.8K 310 120
                                    

Selamat Membaca...
.
.
.

Bak patung pahatan, Fugaku terpaku dengan wajah yang penuh dengan bulir keringat di dahinya. Melihat darah segar mengalir dari paha Hinata.

Khusina dan Hikari yang  melihat itu pun shock, mereka limbung tak sadarkan diri. Seakan tau apa yang menimpa anak dan menantu mereka. Minato dan Hiashi untung saja sudah memprediksi keadaan para istri mereka, sehingga saat limbung mereka sigap menopang tubuh istri masing-masing.

Jantung Naruto rasanya seperti dihempaskan kebawah. Melihat darah yang mengalir dari kedua celah paha istrinya. Berdiri dengan cepat, dengan sigap meraih Hinata dalam gendongannya.

"Jika terjadi sesuatu pada anak dan istriku. Aku bersumpah Fugaku, akan membuatmu kehilangan semuanya." Ujar Naruto sebelum benar-benar pergi dari Hotel.

Fugaku benar-benar tidak sengaja. Ia tidak mengetahui jika Hinata sedang mengandung.

Neji yang geram hanya bisa mengumpat untuk saat ini. Lelaki itu mengikuti Naruto menuju rumah sakit.

"Sayang, bukankah kau harusnya bisa membantu Hinata?" Tanya Shion pada Toneri.

"Tidak sayang. Aku bukan dokter kandungan, kau tau aku ini dokter spesialis anak." Shion terdiam, air matanya sudah mengalir deras, ia takut istri sepupunya mengalami hal buruk.

Toneri memeluk Shion, menenangkan segala resah dan khawatir kekasihnya.

"Doakan saja ya, semoga hal buruk yang kita fikirkan tak terjadi pada Hinata." Shion mengangguk seraya menambah erat pelukannya.

.
.
.

Naruto dan Neji bernafas lega saat dokter mengatakan janin dikandungan Hinata baik-baik saja. Pundaknya terasa ringan saat melihat Hinata yang sudah sadar.

"Hime."

"Naru, anak kita." Panik Hinata. Naruto menenangkan Hinata, mendorong pelan bahu sang istri agar tetap berbaring.

"Dia baik-baik saja, hime. Kuat seperti kita." Ujar Naruto dengan lembut, mengelus pelan perut rata Hinata serta mengecupnya beberapa kali.

Neji tersenyum melihat itu, ia bahagia adiknya tidak kehilangan bayinya.

"Mengapa kalian menyembunyikan ini pada kami semua?" Tanya Neji menuntut.

"Bukan menyembunyikan Neji. Hanya belum memberitahu saja. Kami juga baru tau beberapa hari yang lalu. Sedangkan kami tau, kalian sedang sibuk menyiapkan pernikahan Nee-san." Jelas Naruto pada Neji yang mudah dipahami Neji.

"Ya sudah, aku pulang dulu ya. Ibu dan bibi Khusina pasti sangat cemas saat ini. Aku akan mengabari mereka secara langsung." Pamit Neji pada mereka berdua.

Hinata menggenggam telapak tangan Naruto. Matanya berkaca-kaca.

"Naru, hampir saja...hiks..." Naruto mengelus lembut rambut Hinata dengan tangan kirinya.

"Dia kuat sayang." Ucap Naruto. "Dia anak kita, pasti kuat seperti kita." Imbuh Naruto menyatukan kening mereka. Hinata masih menangis, tubuhnya masih bergetar karena tangis dan juga karena kejadian tadi benar-benar membuatnya cemas.

"Aku... Hiks...tidak akan sanggup jika kehilangan bayi kita." Racau Hinata, Naruto beralih duduk diranjang Hinata. Menaruh pelan kepala bersurai indigo itu pada dadanya.

"Bersyukur, Tuhan masih melindunginya sayang. Dan kita harus lebih hati-hati lagi." Hinata mengangguk mendengar tutur kata suaminya.

"Istirahatlah."

"Jangan pergi. Disini saja, aku tidak mengantuk Naru." Rengek Hinata. Naruto tersenyum, istrinya sudah kembali manja.

"Baiklah. Kau ingin sesuatu?"

 H I N A T ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang