13 - R. Raheldra?

43 13 21
                                    

Pices dkk datang paling pagi ke sekolah. Tumben sekali? Jam 05.40 sudah tiba? Biasanya pada jam segini, Itia sedang enak-enaknya berendam di bak mandi dengan air hangat.

Jani biasanya nonton karate dan ninja barulah sekitar jam 06.10 dia mandi atau menyiapkan buku. Elpa biasanya baca novel karya Tere Liye yang judulnya Matahari. Pices biasanya jam segini masih berada di alam mimpi.

Namun, hari ini semua kebiasaan mereka tunda dulu dan Pices datang dengan wajah ngantuk-dia belum mandi, tapi jangan kasih tahu siapa-siapa, ya! Ssst!

Hari ini Itia yang memegang kunci kelas VIII C, jadi mereka bisa langsung membuka pintu dan masuk. Mereka kumpul di meja Pices. Itia dan Jani berhadapan dengan Pices dan Elpa. Tumben sekali Elpa dan Pices akur?

Yah, mereka akur karena Pices meminjamkan pena pada Elpa yang katanya pena Elpa hilang entah ke mana? Mereka berdiri dan menatap sebuah lembar kertas dengan tulisan tinta merah di atas meja.

Pices dkk mengecek kertas itu yang Pices dapatkan di depan rumah tadi pagi. Maka dari itu dia mengabari Itia, Jani, dan Elpa untuk mengumpul di sekolah pagi-pagi sekali.

"Gue tunggu di gang ujung kompleks dekat sekolahan nanti pulang sekolah," gumam Itia membacakan surat tersebut, "R. Raheldra?"

"Ada yang kenal siapa nama ujungnya Raheldra?" tanya Pices pada Itia, Jani, dan Elpa dengan pandangan serius. Baru kali ini Pices jadi serius.

Itia menatap ke langit-langit kelas sambil menyenderkan pinggang ke pinggiran meja. Siapa R. Raheldra?

Elpa menutup mulut yang menguap, lalu menggaruk leher belakang. Yang dia ingat hanya deretan rumus persamaan antara x dan y.

Jani mengedarkan pandangan. Sepi dan masih ada kabut yang terlihat diluar kelas. Yaiyalah, 'kan masih jam 05.

Pices menghela napas dan berdecak. "Kan, enggak ada yang tahu! Dari kemaren nama ini ngasih gue surat mulu dan suratnya itu isinya kayak gitu semua. Arrgh!" Pices duduk di kursi dan menyenderkan punggung pada sandaran kursi.

"Tunggu dulu ... kayaknya gue pernah denger tuh nama. Hm, gue bakal nanya sama kang gosip di sekolah ini." Elpa mengusulkan.

"Hm, terserah," jawab Pices sambil melipat kedua tangan dan menenggelamkan wajah di sana. Itia, Elpa, dan Jani menatap bingung Pices. Tumben sekali dia tidak bersemangat untuk hidup? Apa karena surat ini?

"Ces-"

"Gue enggak papa," potong Pices menebak kalau Elpa akan menanyakan keadaannya.

"Ha? Siapa yang mau nanya lo kenapa? Orang gue mau bilang, kalo pena lo gue pinjem sampe besok soalnya pena lo lucu," kata Elpa menerangkan.

Itia menahan tawa. "GR lo, Ces." Lalu Itia terkekeh. Jani hanya menatap mereka. Gue pinter, gue diam, batin Jani.

Pices tidak perduli, dia hanya mengibaskan tangan kiri dan bergumam, "Owh, yaudah."

Itia sedikit khawatir padanya. Apakah Pices sedang sakit? "Lo sariawan, Ces?" tanyanya yang dibalas gelengan oleh Pices.

"Lo demam?"

"Gara-gara surat tadi?"

"Bapak sama emak lo berantem?"

"Lo ditembak dua cowok?"

"Lo PMS?"

Semua pertanyaan beruntun dari Elpa dan Itia dibalas gelengan. Membuat mereka bingung. "Kalo ada masalah ngomonglah, Ces," tegur Itia sambil menepuk bahu kiri Pices pelan.

Pices hanya bergumam dengan malas. "Yaudah cerita!" desak Elpa. Mereka pikir, Pices ada masalah besar dan tidak ingin bercerita karena segan, tapi nyatanya bukan itu.

Challenged by Love [ END ]  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang