18 - Hari Minggu

27 10 12
                                    

Pagi ini adalah hari di mana dua sejoli yang lagi PDKT atau pacaran menghabiskan waktunya dengan nge-date di sebuah kafe, mall, restoran, atau hotel. Kenapa mereka enggak ke Kali Ciliwung aja, ya? Kan, enak bisa maen aer.

Beda dengan yang jomblo. Jam 09.24 itu adalah waktu mereka masih tenggelam dalam mimpi ketemu gebetan halu, main getjet, buat cerita, nyiram taneman, berjemur biar tambah putih, ngemil sambil nonton drakor atau nonton karate kayak Jani, rebutan remot control mobil-mobilan kayak Elpa sama adeknya, dan ngelamunin masa depan kayak Pices.

Hari ini hari minggu, tanggal merah, hari libur sekolah, libur nguras otak, libur dikerjain temen lucnut, libur dimarahin guru, libur masuk BK, libur pening tujuh keliling nyariin rumus kimia, dan libur-libur lainnya. Kalau disebutin satu-satu, bisa kriting jari author.

Pices duduk di kursi teras rumah sambil menerawang masa depannya. Apakah dia akan memiliki masa depan yang cerah?

Seperti tetangga sebelah yang punya barang megah? Jika seperti itu, maka pendamping Pices pasti sibuk kerja terus. Ah, tidak! Pices ingin memiliki barang megah, tapi tidak mau ditinggal pasangan. Nanti jika pasangannya selingkuh di kantor bagaimana? Bisa-bisa Pices ditelantarkan.

Atau punya pendamping cowok ganteng kayak artis? Entar banyak yang suka sama pendamping Pices dan akhirnya Pices akan ditelantarkan lagi jika cowok itu sudah bosan.

Atau punya cowok soleh bin solehah? Hm, bisa-bisa kuping Pices bakal panas setiap hari karena mendapat ceramah dan Pices bakal enggak betah lama-lama berhubungan sama cowok seperti itu dan akhirnya minta cerai.

Atau punya cowok tentara? Lah? Jika cowok itu marah karena Pices berbuat teledor dan tidak disiplin, bisa-bisa Pices disuruh merangkak di atas lumpur dan diteriaki setiap hari agar disiplin.

Atau punya pendamping dokter? Jika sakit sedikit pasti langsung diobati, tapi jika banyak pasien yang sakit maka Pices akan diabaikan.

Atau punya pendamping biasa-biasa saja? Pastila--

Tangan besar meraup wajah Pices hingga lamunan Pices buyar entah ke mana. Membuat Pices terkejut dan menoleh ke si dalang.

Cowok yang berdiri di samping kursi Pices itu mengangkat kedua alis tinggi-tinggi. "Ngopo toh, Ndok?" Logat Jawanya dan suara besar, ditambah memakai kaos singlet dan sarungan membuktikan bahwa cowok itu tidaklah muda lagi.

Pices menatap ke depan lagi. Panas matahari pagi menerpa tubuh Pices hingga dia terlihat bersinar. "Ngelamunin masa depan, Pak."

Roma mengambil duduk di samping Pices, membuat Pices harus bergeser ke kanan agar bapaknya dapat menempatkan bokong di sana. "Masa depan seperti apa? Nikah? Punya anak? Kerjaan?"

"Pasangan, Pak. Lagi galau, nih, pasangannya entar berprofesi kayak apa, ya? Apa Tentara? Dokter? Orkay? Kayak artis? Pengangguran? Atau Ustadz?" Pices menghela napas.

Roma terkekeh. "Kamu ini masih SMP, belum cukup umur buat mikir kayak gitu. Jodoh udah ada yang ngatur, Ces," nasihat Roma.

"Belum cukup umur gimana, Pak? Bapak sama ibu aja nikah waktu umur 16 tahun 'kan?" Pices menatap bapaknya sekilas dan kembali cemberut menatap pohon jambu milik tetangga. Kayaknya enak makan jambu biji merah itu, tapi sayangnya tetangga itu lagi pergi pulang kampung.

"Ya 'kan itu dulu, Ndok, sekarang beda lagi. Dulu orang-orang umur 14 tahun aja udah nikah, kalau sekarang umur 16 tahun nikah paling cepet. Emang kamu mau nikah sekarang?" Roma mengernyitkan dahi.

"Ya, enggak, sih. Cuma 'kan kita harus mikir masa depan kali, Pak. Nanti kalau mikir masa lalu, kapan mau bergerak? Bangsa Indonesia itu harus punya tekad kuat untuk memajukan Negara Indonesia tercinta!" Pices mengatakan itu dengan semangat 45.

Challenged by Love [ END ]  Where stories live. Discover now