20 - Rasanya Kampret banget!!!

28 9 5
                                    

Guru privat Pices itu duduk selonjoran di atas karpet dengan gambar Upin dan Ipin di bawah pohon rindang. Angin sepoi-sepoi membuat beberapa ujung helai rambutnya berayun. Sinar matahari yang tidak terlalu panas pada jam 14.20 itu membuat suasana seperti berpiknik di belakang rumah.

Reza teringat masa lalu, di mana saat itu dia kecil bermain di halaman belakang rumah bersama kedua orang tua kandungnya. Saat itu, Reza kecil masih berusia 8 tahun dan pikirannya hanya berpusat pada keceriaan. Reza kecil tidak suka melihat orang bersedih, bertengkar, dan diam.

Reza kecil sangat cerewet dan ramah. Semua orang dia sapa saat berpapasan di mana pun dan kapan pun bahkan siapa pun. Reza kecil memiliki banyak teman, dari yang umurnya balita hingga dewasa sekali pun. Namun, saat kejadian ditangkapnya sang ibu, Reza berubah 360 drajat.

Seandainya dulu teman-teman Reza tidak mengajaknya bermain layang-layangan saat itu, sudah dipastikan ibunya masih ada di rumah sekarang sedang memasak untuk dirinya. Sekarang Reza tidak tahu sedang apa ibunya. Sudah makankah? Sudah mandikah? Apakah ibunya sehat? Apakah ibunya semakin kurus dan menua?

Tatapan sarat akan kesedihan yang mendalam terpantri di kedua mata Reza yang sebelumnya sarat akan amarah. Pandangannya mulai memburam akibat air mata yang sudah menyelimuti bola matanya mengenang saat-saat itu.

Wanita itu menangis sambil menggeleng menatap sang putra lewat jeruji belakang mobil. Kedua tangan memegang besi jeruji itu dengan senyum terpaksa. Mobil yang dinaiki melaju cukup cepat membuat anak laki-laki usia 14 tahun tidak sanggup lagi mengekor di belakang menggunakan kakinya.

Anak laki-laki itu mengulurkan tangan ke depan sejauh mungkin seolah-olah dapat meraih jeruji besi itu, langkahnya memelan, matanya mengeluarkan air mata, mulutnya meraung-raung memanggil sang ibu.

"Maaa! Mama! Mama, jangan tinggalin Rezaaa!"

Kedua tangan Reza terkepal, rahangnya mengeras, urat leher mulai menonjol, kedua matanya tertutup rapat, dan napasnya memburu. Tepukan di bahu kanan membuat mata Reza refleks terbuka dan mendongak. Matanya menangkap mata coklat milik muridnya.

Pices tersenyum, dia berjongkok diiringi pandangan Reza. "Lo nangis?" Pertanyaan Pices lantas membuat Reza mengusap ujung mata dan mengalihkan pandangan ke sekitar.

Reza menunduk untuk melihat hasil dari usapannya, apa benar dia menangis? Segitunya? Reza menyingkirkan tangan Pices di bahunya dan menatap dingin. "Bukan urusan lo."

Pices menggidikkan bahu dan mengambil duduk di samping Reza dengan membawa perlengkapan belajar yang ia letakkan di atas karpet di depannya. "Kenapa nangis? Gue tahu lo kehilangan seseorang," kata Pices membuat Reza menatapnya, "keliatan banget tuh!" Pices menunjuk wajah Reza sekilas kemudian melanjutkan menatap buku dan pena.

Reza mendengkus. "Bisa enggak?"

Pices mendongak dengan satu kedipan. "Ha?" Dia tidak paham apa yang ditanyakan Reza dengan nada dingin dan serak itu.

"Jangan ngurusin hidup orang," lanjut Reza dengan mata menyorot tajam, tetapi tersirat kesedihan di dalamnya, Pices tahu hal itu.

"Enggak," jawab Pices. "Lo 'kan bukan orang, tapi pembunuh."

Pembunuh. Kata itu bagaikan bumerang di kepala Reza. Apakah Pices sudah tahu bahwa Reza seorang psikopat? Namun, dari mana dia tahu? Tidak ada yang tahu bahwa Reza seorang psikopat selain ayah dan Luna pastinya. Lalu, apakah Pices memata-matainya?

"Kayaknya lo lagi banyak pikiran, jadi ..." Pices menggantung ucapan hanya untuk menatap Reza. "Nge-date, yok!"

Reza tersentak dengan ide gila Pices. Apa katanya? Nge-date? Bagaimana jika orang-orang menganggapnya berpacaran? Kan, tidak lucu jika nanti di rumah dia diejek habis-habisan oleh sang ayah bila mengira hal itu.

Challenged by Love [ END ]  Where stories live. Discover now