Sudut Sunyi FIB

447 55 13
                                    

7 Oktober 2020

Namanya Panutan Alam Semesta. Aku mengenalnya sebagai pemberontak yang tak suka dikekang. Pemuda tersebut hidup bagai ombak di lautan lepas yang bergerak bebas. Menerjang siapa pun yang menghadang. Menggulung angkuh bak raja di lautan. Mahasiswa UNSILA menjuluki dirinya sebagai Macan Kampus. Memang, karena dialah salah satu aktivis mahasiswa yang paling lantang menyeruakan ketidakdilan yang terjadi pada negeri ini melalui organisasi-organisasi kemanusiaan.

Pertemuanku dengan pemuda itu sebenarnya biasa saja. Bisa dibilang, suatu kebetulan tak terduga. Kala itu, aku tengah menunggu jeda kelas mata kuliah Fonologi di bangku besi sudut Fakultas Ilmu Budaya ditemani koran mingguan UNSILA. Aku menyukai tempat itu alih-alih perpustakaan yang berhawa dingin oleh air continioner maksimum dan berisiko tinggi mengundang kantuk. Selain itu, di sini juga tak kalah sunyi serta menyejukkan berkat sapuan angin sepoi-sepoi.

Begitu mendaratkan tubuh di tempat favorit, segera saja kubolak-balik halaman koran. Aku sudah tidak peduli dengan headline mahasiswa berprestasi karena atensiku langsung tertaut pada satu nama. Panutan Alam Semesta. Membaca opini Alam terkait kondisi sosial-politik yang dimuat dalam koran mingguan UNSILA sudah seperti ritual wajib setiap minggu. Sejak tahun pertama berkuliah, aku selalu mengangumi tulisan pemuda tersebut yang bergaya satire dan penuh sarkasme.

Di tengah konsentrasi membaca paragraf demi paragraf, kurasakan bangku besi yang kududuki terasa bergetar samar selama beberapa detik. Rupanya, ada seseorang yang baru saja mendaratkan tubuh persis di sebelahku. Kulirik sekilas sepatu convers hitam usangnya. Lalu, kembali menekuni bacaan. Aku tidak terlalu memedulikan hingga celetukan dari pemuda jangkung itu membelah kesunyian di antara kami.

"Heh. Lo di mana, sih? Gue udah di FIB, nih."

Seketika, aku menegang. Susah payah kuteguk saliva. Aku sangat mengenali suara itu. Indra pendengaranku tak mungkin salah tangkap. Suara yang biasanya terdengar lantang memimpin diskusi di sekretariat BEM FISIP, suara yang kadangkala tanpa gentar mendebat argumen tak berlandaskan data valid, suara yang baru kemarin berkoar membakar semangat mahasiswa lain dengan orasi ilmiah bertema panjang umur perjuangan....

Ah! Tidak salah lagi. Dia adalah Panutan Alam Semesta dengan segala kharismanya yang menyerupai magnet.

Kenapa mendadak gugup luar biasa begini berdekatan dengan seorang Macan Kampus? Aku menyesal selama ini tidak mempercayai omongan Nindy dan mulut gosipnya yang mengatakan berada di radius dekat Panutan Alam Semesta bak tersedot ke dalam lubang hitam. Benar saja. Aku terperangkap oleh pesonanya. Bukan hanya pada tutur aksara yang ia rangkai, tetapi juga pada sosoknya yang berwibawa serta kharismatik.

Diperhatikan dari jarak sedekat ini, Alam sebenarnya tidak terlalu tampan. Tingginya kurang lebih 185 cm, berkulit sawo matang terbakar terik sinar matahari tropis, bergaris rahang kokoh, dipadu rambut hitam legam nyaris menutupi telinga, serta sepasang alis tebal menukik. Dia juga bukan termasuk hierarki mahasiswa modis. Lihat saja penampilannya. Kaos hitam polos, dirangkap kemeja flanel kotak-kotak, jeans belel, dan sepatu convers hitam usang. Tidak ada yang menarik, bukan?

Namun, di mataku, dia mempesona dalam kesederhanaannya.

Selain itu, Alam merupakan seorang mahasiswa abadi yang sepertinya memegang prinsip 'lulus di waktu yang tepat, bukan tepat waktu'. Buktinya, sudah berusia 25 tahun tetapi masih 'betah' di UNSILA. Tak mengherankan organisatoris ulung semacam dirinya tidak kunjung sidang skripsi.

"Sejujurnya, agak malu opini gue dibaca sama seseorang persis di depan mata kepala gue sendiri begini."

Seketika, aku menutup koran. Melipatnya menjadi dua bagian, lalu memasukannya ke dalam totebag. Kebanyakan melamun membuatku tak menyadari jika sedari tadi masih mengamati rubrik opini Alam di koran mingguan UNSILA dengan sosoknya duduk persis di sebelahku. Jika tadi Alam tak menghiraukan karena sibuk menelpon seseorang, kini ia mengarahkan seluruh atensinya kepadaku.

"Eh."

Sial. Kenapa jadi salah tingkah begini?

Alam terkekeh lirih. "Kalo lo tertarik sama opini gue dan kebetulan lagi nggak ada kelas, besok siang dateng aja ke drama teatrikal RIP KPK di lapangan birokrasi gedung C."

"Gedung C? FISIP? Aku anak FIB. Apa boleh?"

"Bolehlah," sahut Alam antusias. "Setelah drama RIP KPK nanti bakal ada diskusi umum tentang RUU KUHP, RUU PKS, RUU Pertahanan, dan RUU Ketenagakerjaan."

Entah setan atau dedemit mana yang hinggap di pikiranku, seketika aku mengangguk secara spontan. "Kalau gitu aku bisa dateng."

Alam seketika mengulum senyum puas. "Oke---" ia lantas membiarkan kalimatnya menggantung di udara.

Dahiku mengerut. Aku yang mampu membaca ekspresi kebingungan di wajahnya, refleks bertanya, "Ada apa?"

"Gue Alam. Nama lo siapa?"

"Raya."

Pemuda itu tertawa geli. "Alam. Raya. Alam Raya. Bisa pas gitu, ya?"

Salah tingkah, aku menggangguk malu-malu.

"Oke, Raya. Gue tunggu kehadiran lo. See you there."

Perlahan, aku menghembuskan napas panjang mengetahui Alam mulai melayangkan atensi pada pohon akasia lebat di hadapan kami. Bisa gawat jantungku jika terus menerus ditatap seperti itu oleh pemuda yang satu ini.
Namun, kelegaanku tak bertahan lama ketika Alam sepertinya menyadari sesuatu. Dengan cepat, ia menoleh untuk kembali beradu pandang. "Eh. Lo anak jurusan apa, Ya?"

"Sastra Indonesia. Kenapa?"

Seulas senyum menenangkan itu kembali terbit. "Menarik. Sepertinya, teman yang asik untuk diajak diskusi buku-buku sastra."

▪︎▪︎▪︎

Begitu saja pertemuan pertama kita di sudut FIB yang sunyi. Benar-benar tidak berarti, bukan? Mungkin saja, tak terlalu berkesan buatmu. Setelah mengatakan hal tersebut, seseorang yang kamu panggil 'Wildan' berjalan mendekat sambil memamerkan seulas cengiran lebar. Aku mengetahuinya sebagai kating di jurusan Filsafat. Dia mengajakmu beranjak dari FIB untuk ke UKM Penalaran.
Setelah mengangguk singkat, kamu pun pamit undur diri.

Dalam diam, aku memerhatikan punggungmu yang mulai menjauh.

Alam, jika semesta memang mengizinkan cerita kita tidak berhenti sampai di sini, ia pasti akan membuat konspirasi pertemuan lain, bukan?

Ya. Aku percaya itu. Sebab, setelah peristiwa tersebut, kita kembali dipertemukan.

•••

a/n

Ada yang inget cerita Monolog Bibir Pantai?

Iya, tuh cerita kuunpublish, kurombak abis-abisan, terus kupublish lagi hihi. Semoga pada suka sama kisah Alam-Raya, yak 🙈

Cheers,
Diffean

Titik TemuWhere stories live. Discover now