Detik-Detik Perpisahan

153 26 2
                                    

Pantai Ancol, 17 Oktober 2020

Aku tahu, berat bagimu menghadapi persoalan mengenai Om Galang yang tak pernah merelakan anak sulungnya tewas dibunuh kediktatoran rezim serta keberadaan abangmu yang dihilangkan pemerintah orde baru masih menjadi tanda tanya besar.

Kamu juga sempat bercerita bagaimana hancurnya perasaanmu ketika mengetahui dalang di balik tragedi kelam 1998 masih adem ayem bersembunyi di kursi kekuasaan. Sementara KOPASUS sebagai kaki-tangan yang bertugas menculik para aktivis hanya mendapat ganjaran dipecat dari TNI tanpa ada hukuman setimpal. Sementara itu, ribuan korban meminta keadilan atas kasus pelanggaran HAM 21 tahun silam. Namun, negara seolah tutup mata dan telinga. Kasus itu tak juga diusut sampai tuntas dan tak pernah ada pertanggungjawaban secara mendalam.

Mei 1998 mejadi bagian dari sejarah Indonesia yang tidak diajarkan di bangku sekolah. Mereka sengaja menutup-nutupi dan menghilangkan. Seolah peristiwa tersebut tak pernah terjadi di Indonesia, padahal saksi mata dan keluarga korban masih hidup menagih keadilan hingga saat ini.

Dalam keheningan malam di kamar Pemimpin Adhyaksa pada kala itu, kamu berbisik putus asa.

"Sejak aku lancar membaca, Ya, aku mulai menamatkan buku Catatan Para Demonstran. Lalu, lanjut mencari banyak sekali informasi tentang peristiwa 1998. Termasuk, hilangnya para aktivis dan apa saja yang pemerintah lakukan terhadap mereka yang disekap. Aku makin yakin, Abangku pasti dipukul sampai babak belur, tubuhnya diinjak-injak, ditendang, disetrum, digantung, dan segala bentuk penyiksaan lain selama ia disekap. Aku sudah semakin pasrah, kalau emang Abangku udah tewas, aku hanya ingin jasadnya kembali. Sekali pun hanya tulang belulang, seenggaknya aku ingin menguburkan dia secara layak sebagai penghormatan terakhir."

Aku tahu, Alam, sungguh memilukan kehilangan anggota keluarga yang kita sendiri tak tahu di mana keberadaannya. Apakah masih hidup atau sudah tewas, jika telah tewas di mana makamnya, di mana jasadnya, kapan ia menghembuskan napas terakhir, apa penyebabnya ia tak bernyawa, serta banyak lagi yang menjadi tanda tanya. Semisal saja kamu mengetahui Bang Adhy menghembuskan napas terakhir karena sakit atau kecelakaan, besar kemungkinan kamu dan Om Galang akan lebih legowo menerima kepergiannya sama halnya kamu dan bapakmu ketika mengikhlaskan kepergian ibumu. Namun, kalau seperti ini, siapa yang tak dihantui tanda tanya? Siapa yang tak merasa kehilangan?

Perasaanmu kerapkali teriris setiap melihat berbagai buku yang dahulu sempat dilarang pengedarannya pada masa orba kini telah memenuhi rak-rak toko buku di seluruh Indonesia.

Bagaimana kalau Bang Adhy masih hidup? Lalu, melihat buku-buku Pram yang menghirup napas merdeka di toko buku? Dia udah nggak perlu lagi sembunyi-sembunyi untuk membacanya.

Benakmu terkadang membayangkan petugas memberikan undangan PEMILU atas nama Pemimpin Adhyaksa di saat pekan PEMILU.

Kalau Bang Adhy menyaksikan PEMILU yang sudah menerapkan prinsip demokratis, pasti girang banget.

Hatimu tak jarang teriris ketika menuliskan suatu opini tentang isu-isu terbaru politik dan pemerintahan di koran UNSILA.

Lihat, Bang Adhy! Sekarang Indonesia sudah lebih bebas berekspresi. Media pers sudah nggak lagi diawasi oleh departemen yang dulunya membungkam suara-suara warga sipil.

Ah, Alam. Perasaan kehilangan yang mendalam membuatmu belajar dari pengalaman masa lalu. Kamu menjadikan sosok Tirta Bening sebagai role model. Pemikiran serta idealismenya yang visoner seolah tertancap kuat di benakmu. Hal tersebut akhirnya mendorongmu  menjadi mahasiswa kritis dan melek politik. Isu rancangan undang-undang baru yang kontroversial juga tak luput dari perhatianmu. Kamu dengan semangat menggebu-ngebu seringakali mengikuti diskusi siang-malam bersama para aktivis dan BEM FISIP lainnya.

Aku, Rayanina Pasha, si introvert yang pendiam dan tak begitu menyukai keramaian, hanya mampu memberikanmu semanga, selalu ada untuk kamu, mendukung segala kegiatanmu, serta memerhatikanmu dari kejauhan.

▪︎▪︎▪︎

Keesokan harinya, pada tanggal 22 Oktober 2019, di rak buku fiksi sejarah perpustakaan UNSILA yang senyap, kamu menceritakan jika lusa akan ada aksi massa besar-besaran secara serentak di seluruh Indonesia. BEM SI telah sepakat menggelar aksi demontrasi untuk menolak tegas disahkannya beberapa RUU. Tak terkecuali kamu yang pasti akan ikut tumpah ruah di jalan bersama rombongan para demonstran tersebut di depan gedung DPR RI.

Mendengar cerita itu, lututku seketika melemas. Berbagai ketakutan menyerbuku dalam sekejap. Kekhawatiran menyergapku hingga membuatku cemas. Aku benar-benar kalut.

Namun, siapa aku berhak melarangmu? Ingat, berbulan-bulan kita saling mengenal, tetapi aku dan kamu hanya TEMAN. Catat, TEMAN. Tidak lebih.

Idealismemu yang begitu tinggi tentu tak akan mudah untuk ditumbangkan.
Bagimu suara rakyat jauh lebih penting daripada keadaanmu sendiri yang terus terang saja mengkhawatirkan. Kamu berhadapan dengan aparat, Alam. Kamu melawan kuasa tirani. Musuhmu para penguasa. Namun, sekali lagi kamu katakan, mahasiswa itu alarm demokrasi di Indonesia. Kamu bergerak untuk menyalurkan aspirasi rakyat kecil yang tertindas oleh para penguasa.

Maka, menurunkan ego, aku pun mengangguk. Menepuk lirih bahumu, memberimu semangat serta seulas senyum terbaik.

Tak lupa membisikanmu sebuah kalimat yang tak akan pernah kulupakan sampai kapan pun. "Ini kan yang kamu namakan sebagai sebuah perjuangan? Membebaskan dan memperbaiki negeri yang sungguh korup ini dari sebuah langkah kecil? Aku tahu, Kak. Aku tahu. Kamu pasti bisa. Aku sangat yakin hal itu."

Harusnya, aku tak perlu risau.
Kamu hanya berdemontrasi mewakili suara rakyat di depan gedung DPR RI. Bukan berpergian ke medan perang.

Iya, kan?

Namun, kenapa di perpustakaan FISIP saat itu hatiku berkata sebaliknya?

▪︎▪︎▪︎

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 18, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Titik TemuWhere stories live. Discover now