Tanya di Penghujung Malam

103 25 0
                                    

Pantai Ancol, 8 Oktober 2020

Intensitas pertemuan denganmu meningkat drastis sejak peristiwa di toko buku bekas Terminal Senen. Kita mulai bertukar kontak WhatsApp dan saling follow akun Instagram. Kamu bahkan mengganti panggilan lo-gue, menjadi aku-kamu. Tidak hanya mengobrol secara langsung, kita pun kerapkali bercengkrama melalui sambungan telepon hingga larut malam. Pengalaman itu adalah salah satu hal paling menyenangkan bersamamu, Alam. Membuat tidur malamku tak pernah absen didatangi seulas senyum bulan sabit.

Jika sudah berbincang di telepon pada malam hari, kita bisa membicarakan apa saja. Mulai dari bertukar pikiran terhadap suatu fenomena kontroversial, hingga obrolan remeh-temeh. Ternyata, aktivis kampus sepertimu bisa juga diajak membicarakan hal yang tak melulu seputar isu sosial dan politik di negara Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja.

Namun, ada kalanya kita serius. Pernah tengah malam pada tanggal 18 Oktober 2019 kita berdebat tentang rancangan undang-undang yang dianggep nyeleneh melalui sambungan telepon. Kamu sudah mengetahui jika DPR telah menyusun rancangan undang-undang tersebut seminggu sebelum diadakannya drama teatrikal RIP KPK. Maka dari itu, kamu bercerita sebelum RUU itu disahkan, kamu, BEM SI, dan seluruh aktivis muda akan menggelar pertemuan untuk saling berdiskusi dan menyusun aksi demonstrasi.

Akan tetapi, malam itu, hari setelah kita berdebat tentang rancangan undang-undang, kamu kembali menelpon tatkala aku tengah membaca novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumiro.

"Ada apa, Kak?"

"Nggak papa. Cuma pengen telpon aja. Temenin, ya," sahutmu di ujung telepon. Samar-samar, bisa kudengar ketikan keyboard laptop---yang kuduga kamu menelponku sambil mengetik entah apa.

Tanpa sadar, senyumku merekah. Kuletakkan Kitab Omong Kosong di nakas meja seraya menyadarkan tubuh di punggung ranjang.

"Kak Alam."

"Iya?"

"Kakak lagi di mana?"

"Di rumah. Kenapa?" Jeda sejenak sebelum kamu kembali berseru terkejut---seakan baru menyadari sesuatu. "Eh iya, kamu kan belum pernah aku ajak main ke rumah, ya?"

Sebagai tanggapan, aku hanya menggumam.

"Besok malem kosong, nggak? Main ke rumah, yuk. Nanti kukenalin sama Bapak."

"Boleh. Jam berapa?"

"Jam tujuh mungkin. Nanti aku jemput. Bisa, kan?"

"Bisa, Kak."

"Wah! Akhirnya makan malam nggak berdua melulu sama Bapak."

"Memangnya, selana ini berdua aja?" tanyaku, penasaran.

"Iyalah, sama siapa lagi? Ibuku meninggal ketika ngelahirin aku, Ya."

Seketika, aku terhenyak. Baru kusadari aku tak mengetahui banyak hal  seputar kehidupan Panutan Alam Semesta selain kegemarannya mengoleksi fiksi sejarah. "Jadi begini, sebenarnya aku itu anak yang nggak direncanakan. Tolong catet, ya, nggak direncanakan. Bukan berarti, nggak diharapkan," sahutmu dengan nada jenaka yang mau tak mau membuatku mengulas senyum tipis.

"Bapak sama Ibu dari awal nikah udah sepakat punya satu anak doang. Nggak mau nambah lagi. Eh, aku hasil kebobolan. Ibu baru sadar kalau hamil saat usia kandungannya menginjak lima bulan. Mangkannya, usiaku sama Abang bisa kepaut enam belas tahun. Dokter mengkhawatirkan kondisi Ibu yang hamil tua karena sangat riskan ketika persalinan. Tapi, Ibu tetep nekat mau ngelahirin aku. Ya, jadinya begini ... seperti yang kamu tahu, Raya."

Seharusnya, itu cerita menyedihkan, kan, Alam? Namun, mengapa kamu membicarakannya dengan nada biasa-biasa saja seolah tak pernah terjadi masalah apa-apa?

Ah, Panutan Alam Semesta.  Gaya bicaramu yang santai waktu itu sampai membuatku tak menyadari jika adanya keganjilan dalam ucapanmu.

Pertama, kamu mengatakan usiamu dengan abangmu selisih 16 tahun.

Kedua, kamu juga memberitahu kalau selama ini hanya makan malam berdua bersama bapak di rumah.

Lantas, ke mana abangmu yang terpaut 16 tahun itu?

Kenapa hanya berdua?

Bukankah seharusnya bertiga? Kamu, Abang, dan Bapak?

Sial, aku lupa menanyakan hal tersebut malam itu.

Akan tetapi, keesokan harinya, saat aku berkunjung ke rumahmu, barulah aku mengetahui jawabannya.

•••

Titik TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang