Bayang-Bayang Penyangkalan

100 24 0
                                    

Pantai Ancol, 7 Oktober 2020

Setelah menginjakkan kaki di depan sebuah rumah sederhana bergaya arsitektur tahun 1980-an, aku mengikuti langkahmu memasuki sepetak pekarangan tak terawat di sisi kanan teras untuk memarkirkan sepeda motor.

Kamu menautkan jemari pada telapak tanganku sebelum beranjak menuju ruang tamu. Baru saja aku menarik langkah memasuki rumahmu, decak kagum refleks meluncur tatkala menyaksikan bagian dalam rumah ini yang begitu artistik. Ornamen dan pernak-pernik di ruang tamu menciptakan suasana laut yang damai dan menenangkan. Bahkan, ada jangkar kapal yang diletakkan di atas sofa beludru bewarna navy. Ada pula lukisan-lukisan pantai berukuran besar di beberapa bagian tembok. Di sisi lain, terdapat rak kaca yang berisi kerajinan-kerajinan dari cangkang kerang, bintang laut, terumbu karang, serta kerajinan dari daur ulang benda laut.

"Wah, Bapak Kak Alam suka banget ngoleksi pernak-pernik tentang laut begini, ya," gumamku seraya mengedarkan pandangan.

Kamu terkekeh lirih. "Bapakku mantan pelaut, Ya. Sekarang udah pensiun, sih. Dulu waktu masih bekerja di salah satu perusahaan jasa angkutan pelayaran, setiap abis berlayar ke suatu daerah, selalu nyempetin diri buat beli oleh-oleh di sekitaran daerah pesisir yang beliau datangi. Mangkannya di rumah ini banyak ornamen namen dan pernak-pernik kerajinan laut."

Aku mengangguk mafhum. Lalu, tanpa sengaja sorot mataku menangkap sebuah foto keluarga yang diletakkan di atas bufet dengan latar belakang Pantai Ancol. Di foto tersebut, tampak seorang pria paruh baya tengah menggandeng sesosok bocah laki-laki. Sementara di sebelah kanannya, berdiri seorang pemuda jangkung yang raut wajahnya tampak familier.
Aku merasa pernah melihat wajah itu sebelumnya. Tapi, di mana ya?

Tepukan lirih di bahu seketika menyadarkanku dari lamunan. Aku terkesiap. Dengan satu kali tarikan lembut, kamu membawaku menuju meja makan. Sebelum sampai di tempat tersebut, kita melewati sebuah ruangan dengan daun pintu berpelitur jati berikut corak ukiran khas Bali. Aku memandang daun pintu ruangan itu lekat-lekat. Di sana, terdapat ukiran samar nama sang pemilik kamar. Walau tidak begitu jelas, aku masih sanggup membacanya.

Pemimpin Adhyaksa.

Dahiku sontak mengerut. Lagi, aku merasa tidak asing akan nama tersebut. Lalu, kuhubungkan dengan foto pria jangkung yang juga terasa familier.

Rasa-rasanya, aku pernah melihat sosok itu sebelumnya.

Tapi, di mana ya? Huh. Daya ingatku yang payah sulit sekali untuk diajak bekerja sama. Hingga kita berdua sampai di meja makan, aku belum juga mampu menemukan korelasi antara nama Pemimpin Adhyaksa di kamar tersebut dengan foto seorang yang tampak familier di ruang tamu.

"'Bentar, ya, Ya, aku manggil Bapak dulu."

Tanpa menunggu persetujuanku, kamu segera melesat menuju kamar dengan daun pintu berpelitur Pemimpin Adhyaksa.

Dahiku sontak mengerut. Ada yang tidak beres. Namun, di mana, ya, letak janggalnya?

Lantaran dihasut rasa ingin tahu, aku beranjak dari meja makan. Mengintip sedikit di balik celah tembok pembatas tempatku saat ini. Kupasang daun telinga baik-baik untuk mencuri dengar.

"Pak," sahutmu sambil mengetuk pintu.

Tak mendengarkan jawaban, kamu pun mengetuknya sekali lagi. "Bapak, makan malem dulu, yuk. Ada temenku, nih."

Selang beberapa detik, terdengar suara pintu yang berderit cukup kencang. Sesaat setelah pintu kamar terjeblak, sesosok pria renta berambut penuh uban dengan garis keriput dimakan usia keluar dengan sorot sendu.

"Bang Adhy udah pulang belum? Udah lama nggak makan malem bareng."

Kamu bergeming sesaat. Dari balik tembok, aku tidak dapat membaca raut wajahmu.

"Nggak, Pak. Bang Adhy belum pulang."

"Oh," gumam bapakmu, kentara sekali nadanya diliputi kekecewaan. "Ya sudah, barangkali malam selanjutnya dia pulang menepati janjinya." Sosok renta itu pun mulai melenggang menuju makan.

Aku buru-buru kembali ke tempat duduk di meja makan tanpa menimbulkan kecurigaan walaupun benakku berkecamuk berbagai pertanyaan seputar abangmu.

Bang Adhy?

Jadi benar Pemimpin Adhyaksa itu abangmu yang selisih 16 tahun, Alam?

Tetapi, kenapa justru bapakmu yang berada di dalam kamarnya?

Ke mana ia sekarang?

Janji? Janji apa? Kenapa bapakmu terlihat kecewa saat Bang Adhy tidak pulang ke rumah?

Ah. Sial. Ternyata aku benar-benar tidam mengetahui banyak seputar kehidupan pribadimu.

Lalu, aku teringat lagi sosok jangkung di ruang tamu. Oh, jadi benar pemuda itu abangmu sekaligus pemilik nama Pemimpin Adhyaksa. Kalau begitu, kenapa aku merasa familier? Apakah aku pernah bertemu dengannya sebelum ini?

"Raya, ya?" Sapaan cerita itu berasal dari seorang pria renta yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangku.

Aku berjengit. Lamunanku seketika buyar. Kutatap pria itu sedikit lama sebelum akhirnya tersenyum canggung.

"Iya, Om."

Di belakangnya, berdiri sosokmu dengan sorot mata hambar.

"Kenapa nama kalian begitu serasi? Alam dan Raya. Alam Raya," celetuk bapakmu seraya mendaratkan tubuh persis pada kursi di hadapan kita seraya tersenyum ramah. Kamu pun menyusul dengan duduk di sebelahku.

Malu-malu, aku menjawab, "Mungkin hanya kebetulan, Om."

Bapakmu---yang sekarang ini kuketahui bernama Om Galang---mengangguk-angguk setuju seraya mecentong penuh seraup nasi lalu meletakkannya di atas piring. "Ayo ambil, Ya, jangan sungkan-sungkan, ya," sahut beliau, hangat.

Sebagai tanggapan, aku hanya tersenyum ramah sembari mengikuti perintahnya. Di sebelahku, kamu juga melakukan hal serupa dengan eskpresi yang tak mampu kudefinisikan.
Entahlah, antara kecewa, sendu, terluka, marah, bercampur aduk.

Otakku memberikan impuls untuk menggenggam tanganmu erat-erat seolah enggan melepaskan. Kamu yang menyadari tautan jemariku di sela-sela telapak tangammu, refleks menoleh. Alismu naik sebelah, menanti jawaban.

Dari gerakan bibir samar-samar, aku berbisik, "Are you okay?"

Kamu yang tampaknya mengerti pertanyaanku, sontak tersenyum kecut. "Jangan tanya sekarang. Nanti aja kujelasin."

Makan malam hari itu diisi dengan hening yang menenangkan hingga suara serak bapakmu memecah kesunyian.

"Alama, Bapak kok nggak liat koran hari ini di teras, ya?"

Kamu mengendikkan bahu. "Lupa dianter mungkin."

"Sayang banget, ya. Coba aja kalau abangmu pulang hari ini, pasti ngomel-ngomel. Nggak bakal ada koran yang bisa dia utak-atik struktur kalimat dan penggunaan diksinya."

Dengan sekali sentakan, kamu meletakkan sendok ke piring hingga menimbulkan gemerincing cukup nyaring. Aku refleks terkesiap.

"Pak, udah 21 tahun...."

"Kenapa memangnya kalau sudah 21 tahun reformasi?

Sungguh, aku tak mengerti arah pembicaraan kala itu

Setelah menghela napas panjang, kamu pun kembali meneruskan makan dalam diam.

•••


Titik TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang