Mencari Jejak yang Hilang

106 24 8
                                    

Pantai Ancol, 7 Oktober 2020

Keping demi keping kenangan tentang nama Pemimpin Adhyaksa beserta foto yang terpajang di ruang tamu akhirnya membawaku pada satu titik terang. Ya, aku ingat sekarang di mana pernah mengetahui pemuda jangkung itu sebelumnya.

Tahun lalu, tepat 20 tahun reformasi, di depan istana presiden penuh sesak oleh orang-orang berpakaian serba hitam dengan payung bewarna serupa. Orang-orang di sana hanya berdiri mematung sembari membawa atribut yang menyuarakan keadilan terhadap para korban pelanggaran hak asasi manusia. Di sepanjang ruas jalan, berderet foto 13 aktivis korban penculikan paksa 1998 dan berbagai korban dengan kasus serupa yang hingga saat ini belum mendapatkan keadilan bahkan tak diketahui batang hidungnya.

Ibuku mengatakan, ini namanya Aksi Kamisan. Aksi ini menuntut negara untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia seperti tragedi Semanggi, penembakan tiga mahasiswa Trisakti, tragedi kerusuhan 12-15 Mei 1998, tragedi penculikan paksa para aktivis 1998, peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Talangsari 1989, penjarahan Klender, perkosaan etnis Tionghoa, dan banyak lagi yang terjadi pada masa pemerintahan orde baru.

Aku mengangguk paham lalu mulai mengamati deretan foto korban pelanggaran HAM melalui kaca jendela mobil yang sedikit tersingkap. Tanpa sengaja, sorot mataku justru terpaku pada potret seorang pemuda berambut ikal dengan garis rahang tegas. Sosok itu mengingatkanku pada Panutan Alam Semesta, si Macan Kampus yang menjadi idaman para kaum hawa. Sekilas, wajah keduanya tak mempunyai banyak perbedaan. Didesak rasa penasaran, akhirnya aku membaca sebaris nama serta keterangan yang berada persis di bawah foto tersebut.

Pemimpin Adhyaksa. Mahasiswa Hukum, Universitas Widya Amerta. Satu di antara 13 aktivis tragedi 1998 yang hingga detik ini belum kembali. Terakhir kali terlihat pada kerusuhan 12 Mei 1998.

Hatiku mencelus membayangkan keterpurukkanmu menanti kepulangan anggota keluarga yang tidak tahu pasti di mana keberadaannya. Sesaat setelah makan malam berakhir dan bapakmu pamit undur diri untuk menikmati semilir angin malam di teras rumah, kamu membawaku masuk ke sebuah ruangan bercat putih gading dengan sederet potret sang empunya kamar serta rak-rak buku di kanan-kiri ranjang. Seketika, memori yang telah lama terpendam berdesakkan masuk ke ingatanku. Mau tak mau, aku terduduk lemas di tepi ranjang seraya mengeratkan genggaman tanganmu.

"Aku punya abang, Ya. Namanya Pemimpin Adhyaksa." Suaramu bergetar ketika  membuka cerita. Aku seketika menoleh. Sedikit terperanjat menatap sorot matamu yang biasanya penuh kobaran api semangat dan optimistik kini tampak rapuh dan terluka.

"Selisihku sama dia 16 tahun. Tapi, walau begitu hubungan kita sebagai kakak beradik sangat baik. Aku jauh lebih akrab sama Bang Adhy daripada Bapak karena seringkali beliau nggak ada di rumah karena berlayar."

Aku menanti ceritamu sembari mengeratkan genggaman tangan seolah menyalurkan kekuatan.

"Bagiku, Bang Adhy itu kakak terhebat yang pernah kumiliki dan nggak akan pernah terganti. Dia bisa merangkap sebagai ibu, bapak, abang, temen curhat, temen main, bahkan sahabat. Bang Adhy nggak pernah absen nemenin aku walau sesibuk apa pun kegiatan organisasinya di sekolah. Dia juga selalu ada di rumah karena takut adiknya yang masih kecil kala itu kesepian. Tapi...." Jeda sejenak sebelum kamu menghela napas panjang.

"Sejak Bang Adhy jadi mahasiswa, semuanya perlahan berubah. Dia mulai jarang berada di rumah. Tiap kali Bapak nanya, dia cuma bilang ada kesibukan organisasi di kampus dan di luar kampus."

Terjadi jeda yang cukup lama hingga suaraku menyeletuk lirih, "Terus?"

"Sejak saat itu, aku mulai terbiasa sendirian di rumah. Aku nggak pernah tau apa kesibukan Bang Adhy di dalam organisasinya. Sekalinya pulang, dia langsung masuk ke kamar untuk mengambil beberapa barang terus pergi lagi secepat kilat."

"Kamu nggak pernah nanya ke mana Bang Adhy pergi?" tanyaku, iba.

Kamu mengangguk. "Bang Adhy lagi-lagi cuma jawab ada kesibukan organisasi. Saat itu, aku masih terlalu kecil, Ya, untuk mengerti apa yang dia sembunyikan. Sampai suatu hari, aku iseng masuk ke kamarnya dan nemuin tumpukan berkas yang diletakkan  dalam map di atas meja belajarnya sehari setelah dia pergi lagi dari rumah. Mungkin, ketinggalan karena terburu-buru."

Jantungku berdegup semakin kencang menantikan lanjutan ceritamu.

"Di umur segitu, aku belum terlalu lancar untuk membaca. Apalagi kalau tulisannya kecil-kecil. Tapi seenggaknya, aku tahu apa itu. Pasti dokumen penting organisasinya Bang Adhy. Isinya terdiri dari dua buku fotokopian dan berlembar-lembar kertas yang nggak begitu kubaca jelas. Tapi, kalau buku, aku masih bisa baca judulnya."

"Apa judulnya?"

"Novel fotokopian Anak Semua Bangsa karya Pramoedyo Ananta Toer dan Demokrasi Kita karya Mohammad Hatta."

Seketika, aku merasa sebuah godam memukul-mukul hebat kepalaku. Aku terhenyak. Pias. Menatap nanar foto Pemimpin Adhyaksa di pigura kecil yang tengah tersenyum lebar hingga kedua matanya tampak berkilat cerah. Aku mulai paham arah pembicaraanmu dengan Om Galang di meja makan.

Pada masa pemerintahan orde baru, aparat gencar membakar dan melenyapkan buku-buku yang dianggap 'kiri'. Salah satunya, buku karya Pramoedya Ananta Toer. Tidak jarang terjadi penculikan paksa aktivis yang berdiskusi atau ketahuan membaca buku karya Pram. Pengedaran buku tersebut dilarang keras. Akan tetapi, semua itu tak menjadi hambatan bagi mahasiswa-mahasiwa kritis untuk memperbanyak jumlah buku tersebut dengan cara memfotokopi secara diam-diam dan berdiskusi di pinggiran ibukota yan jauh dari pantauan intel serta aparat.

"Kertas-kertasnya nggak bisa kubaca jelas, Ya. Tapi, yang pasti, ada tiga tulisan tercetak tebal seperti Gulingkan Pemerintahan Diktatorial, Reformasi Harga Mati, Soeharto Harus Mundur...."

Aku mengelus punggungmu lembut untuk menenangkan. Hatiku sesak, membayangkan bagaimana hancurnya perasaanmu menceritakan ulang kisah memilukan ini.

"Satu hal yang dapat kusimpulkan setelah membaca itu, Ya, organisasi yang diikuti Bang Adhy sedang dalam bahaya besar karena mencoba menentang rezim orde baru. Bisa jadi ... bisa jadi...."  Kamu sontak meneguk ludah. "Buronan aparat. Aku mulai berpikir, apa mungkin itu alasan Bang Adhy jarang banget pulang ke rumah. Sekalinya pulang, terus keluar lagi dengan langkah tergesa-gesa seolah nggak ada hari esok? Nggak tahulah. Sampai dia benar-benar pergi dan nggak pernah kembali lagi ... aku belum menemukan jawabannya."

"Sebenernya, dokumen-dokumen di dalem map itu mau kuserahin ke Bapak. Aku mikirnya, orang dewasa pasti tau urusan Bang Adhy. Tapi, belum sempat aku keluar dari kamarnya, Bang Adhy tiba-tiba muncul di depan pintu pada malam itu. Wajahnya keliatan lelah. Kantung matanya menghitam. Rambut ikalnya  acak-acakan seolah nggak pernah disisir setahun. Napasnya ngos-ngosan kayak abis lari marathon. Begitu melihatku sedang memasukkan kertas-kertas dokumen dan dua buku ilegalnya, abangku seketika terkejut. Wajahnya syok berat." Kamu terkekeh lirih, tetapi yang terdengar di telingaku justru tawa sumbang.

"Waktu aku tanya apa maksudnya, Abang cuma senyum, terus bilang, ini namanya perjuangan. Sebuah kontribusi untuk membuat Indonesia  lepas dari cengkraman satu pemimpin diktatoe serta kloningannya yang menjabat selama lebih dari 30 tahun. Semangat dan idealisme Bang Adhy untuk membuat Indonesia yang bebas berekspresi, bebas berpolitik, bebas bersuara, menjadi alasan terbesarnya nekat menentang era orde baru."

"Bang Adhy bilang gitu ke kamu?"

"Iya. Dulu aku mana paham. Aku baru tahu maksudnya setelah dia udah enggak ada...."

•••

a/n

Untuk mereka yang telah dihilangkan secara paksa dan dibungkam suaranya, kalian abadi. Dan, akan selalu berlipat ganda di setiap generasi :)

Titik TemuWhere stories live. Discover now